Takbir bergema di pelosok negeri, setiap orang muslim menyambut gembira. Rumah-rumah berhias cantik, segala kue terhidang lezat di meja menyambut datangnya hari kemenangan. Menyiapkan hidangan esok hari adalah kesibukan Karenina malam itu.Menurut jadwal yang dia terima dari Mutia, hari pertama mereka semua akan berkumpul di kediaman Ustazah Hadijah hingga sore tiba, setelah itu bebas. Boleh tetap di sana atau berkunjung ke kerabat lainnya. Wafi sendiri saat ini masih berada di rumah Mutia. Karena memang satu pekan tepat pada malam lebaran.
Setelah kedatangan Farhana beberapa waktu yang lalu, dia sudah bisa menelaah kondisi yang sedang terjadi. Permintaan Farhana mungkin menyakitkan, tetapi setidaknya sikap kakak Wafi itu sudah jauh lebih melunak karena dia menyanggupi untuk mengikuti apa yang diinginkan Farhana.
Mungkin terasa tak adil bagi Mutia dan tentu saja bagi Hadijah, tetapi saat ini dia hanya ingin diberi ketenangan oleh Farhana, karena perempuan itu sudah tidak lagi kembali ke Bali. Farhana memutuskan untuk tinggal bersama Hadijah dan mengembangkan bisnisnya di kota itu.
Karenina ingin menunjukkan kepada kakak iparnya itu jika benar-benar tidak seperti yang dipikirkan oleh Farhana. Untuk mengubah persepsi anak tertua dari Hadijah itu. Dia memang harus mengunci mulut sampai benar-benar bisa menunjukkan kesungguhannya dalam berhijrah serta memberi kebahagiaan penjelasan baginya jika setiap orang berhak memilih dan memiliki kehidupan terbaik dengan belajar banyak dari kesalahan masa lalu.
Dia pun ingin mengembalikan nama baik almarhum papanya dengan caranya sendiri.
Bibirnya melebar melihat rumah sudah tertata rapi dan wangi. Besok pagi adalah kali pertamanya merayakan IdulFitri bersama keluarga barunya. Wafi berpesan melalui aplikasi hijau jika dia akan datang sebelum subuh untuk membersamai nya salat Ied pagi nanti. Kebetulan juga Wafi akan menjadi khatib di halaman pondok pesantren miliknya.
Saat sedang menata toples di meja, ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk dari Farhana membuatnya menarik napas dalam-dalam.
[Nina, besok kita semua kumpul di rumah Umi, aku harap kamu benar-benar bisa memegang janji!]
[Iya, Mbak Hana. Mbak nggak perlu khawatir.]
[Pil yang dibelikan itu gimana?]
[Masih ada, Mbak.]
[Bagus. Kamu minum loh ya.]
[Iya, Mbak.]
Tak ada balasan dari kakak iparnya, dia lalu kembali meletakkan ponsel itu ke atas meja. Karenina memang belum mengonsumsi pil untuk menghambat kehamilan tersebut, karena memang dia dan Wafi sampai saat ini belum pernah melakukan hal yang satu itu. Selain karena masih dalam tahap pengenalan, Wafi juga harus membagi waktu dengannya dan dengan Mutia.
**
Mutia masih enggan menyentuh hidangan buka puasa. Padahal menu di penghujung ramadan itu adalah makanan kesukaannya. Seharian perempuan itu merasa kehilangan tenaga. Bahkan Mutia memilih tidak beranjak dari ranjang ketika Wafi mengajaknya berbuka puasa di ruang makan.
"Kamu kenapa, Sayang?" tanyanya sembari mengusap peluh di dahi sang istri. "Aku nggak enak badan, kita ke dokter ya."
"Nggak, Mas. Aku nggak apa-apa. Mas buka puasa sendiri ya," pintanya. "Kepalaku pusing banget." Dia kembali bersandar di ranjang.
"Oke, aku bawakan minuman hangat lagi sama kurma untukmu, ya? Sejak tadi kamu hanya minum saja, kan?"
Mutia mengangguk lalu perlahan merebahkan tubuhnya. Tiba saja dia merasa mual dan kehilangan selera makan meskipun azan Maghrib tanda berbuka puasa sudah berkumandang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...