Karenina terdiam mendengar ucapan mamanya. Perempuan paruh baya itu mengungkapkan kesedihannya ketika tahu bagaimana kondisi yang sebenarnya yang dialami oleh putrinya.
"Nina, tadinya Mama pikir kamu sudah benar-benar menemukan kebahagiaan setelah dinikahi oleh Wafi. Sungguh apa yang Mama saksikan hari ini telah menghapus semua yang Mama sangkakan," ujarnya dengan nada kecewa. "Mama awalnya begitu bersyukur, Nin. Tapi setelah tahu ... maafkan Mama, Nak. Maafkan Mama, semua yang terjadi ini karena Mama."
"Nggak, Ma. Bukan salah Mama. Semua yang terjadi pada Nina adalah memang sudah garis hidup yang Allah beri, jadi jangan pernah menyalahkan diri Mama."
Mira meraih tisu lalu mengusap air matanya. Mungkin dulu dia sama sekali tidak pernah peduli dengan anak tirinya ini, tetapi sekarang dia menyadari jika anak yang pernah dia abaikan adalah perempuan yang benar-benar memiliki hati lembut. Anak tirinya itu telah demikian jauh berubah.
"Mama sayang sama kamu, Nina. Mama nggak bisa kamu dianggap perempuan seperti yang mereka gambarkan. Mama tahu kamu anak baik," imbuhnya masih dengan air mata berderai.
Bu Joko datang membawa minuman hangat dan sepiring sosis solo kesukaan Karenina.
"Makasih, Bu Joko."
Mengangguk sopan, perempuan berjilbab merah itu kembali ke dapur.
"Bukan mereka, Ma. Hanya Mbak Hana saja yang bersikap seperti itu. Yang lainnya baik ke Nina."
"Tapi mereka nggak bisa mengendalikan Hana. Mereka membiarkan perempuan itu menyakitimu dan Mama nggak rela!"
"Ma."
"Nina, tadi Mama dengar dia memintamu untuk pergi dari sini, 'kan?"
Karenina menarik napas dalam-dalam. Ini sudah kesekian kalinya Farhana memintanya untuk meninggalkan rumah ini dan tentu saja Wafi. Sampai saat ini dia bertahan, tetapi ancaman Farhana pada bayi yang dia kandung sudah cukup membuat dirinya was-was.
"Dia sudah mengancammu dan bayimu, 'kan? Kamu dengar jelas tadi, 'kan?" cecar Mira.
"Nina, mungkin kamu lupa atau bahkan tidak tahu kalau masih ada villa peninggalan papamu di daerah kebun teh? Villa itu hanya mama dan papamu yang tahu. Bahkan Alvin pun tidak tahu soal itu."
Mira mengambil gelas yang disuguhkan Bu Joko kalau meneguk perlahan.
"Mama memang tidak tinggal di sana karena merasa Mama tidak lagi pantas tinggal di sana dengan semua kesalahan yang Mama perbuat." Mira menghentikan kalimatnya. Dia menarik napas dalam-dalam sembari menatap putrinya.
"Kita bisa pindah ke sana, Nin. Kamu pasti tahu, perempuan hamil itu tidak boleh stress, tidak boleh tertekan ... sementara apa yang kamu alami ini sudah pasti membuat dirimu tidak nyaman, 'kan?"
Karenina tak menjawab. Mamanya benar, mungkin dia bisa bersabar dan meluaskan hati meski harus menelan semuanya sendiri, tetapi dia juga ingin tenang menikmati kehamilannya.
Namun, hal itu tidak mungkin dia putuskan karena biar bagaimanapun ada Wafi yang harus dia utamakan. Wafi adalah suami yang harus menjadi tempat untuk saling berbagi dan bertukar pikiran.
"Mama, Nina tahu niat Mama baik. Nina juga tahu Mama tidak ingin Nina dan cucu Mama kenapa-kenapa, tapi Nina nggak bisa mengiyakan tawaran Mama, karena ada Mas Wafi yang harus tahu apa yang sebaiknya Nina lakukan."
Mira mengangguk samar. Meski kekhawatirannya begitu besar, tetapi dia tahu biar bagaimanapun Nina adalah tanggung jawab Wafi.
"Baiklah, Nin. Mama dukung apa pun keputusan Wafi nanti, asal itu bisa membuat kami dan calon bayimu nyaman."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...