Menikahi Luka 20

2K 144 4
                                    

Karenina melipat mukena, dia baru saja selesai salat duha dan membaca beberapa lembar Alquran. Pagi itu dia tidak sesibuk beberapa pagi saat suaminya ada di rumah. Setelah melewati malam dengan mencoba membuat beberapa desain simpel untuk gamis, Karenina langsung masak salat tahajud dilanjut makan sahur.

Seperti yang dijadwalkan siang nanti ada pengajian di masjid pesantren, dia sudah punya janji dengan Sofia dan temannya yang memiliki usaha konfeksi.

"Mbak Nina, baju kotornya kok nggak ada di mesin cuci?" Bu Joko muncul dari arah belakang.

"Iya, Bu. Sudah saya cuci selepas sahur tadi," jawabnya tersenyum.

"Kenapa dicuci, Mbak? Itu, kan tugas saya," ungkap perempuan berperawakan kurus dengan tahi lalat di atas bibirnya itu.

"Nggak apa-apa, Bu. Lagipula baju kotor saya aja, kok."

"Iya, Mbak, tapi ...."

"Sudah, Bu. Pagi ini Bu Joko saya ajak praktik buat kue kering. Sebentar lagi, kan lebaran, saya mau nyoba beberapa resep yang saya pikir sepertinya mudah dieksekusi. Gimana? Mau?"

Mata Bu Joko berbinar, dia mengangguk antusias.

"Kalau begitu, sekarang Bu Joko ke pasar dan beli beberapa bahan kue yang sudah saya catat di kertas di atas meja makan."

"Baik, Mbak, tapi ...."

"Tapi kenapa?"

"Saya belum menyapu rumah, kalau halaman sudah, Mbak."

Karenina tersenyum lebar. Bu Joko memang sangat bertanggung jawab pada setiap detail tugasnya. Dia seperti tidak mau kehilangan satu pun pekerjaan wajibnya.

"Saya takut nanti saat dihisab, dan saya tidak bisa mempertanggungjawabkan pekerjaan saya di mata Allah, Mbak. Saya khawatir makan gaji buta," ucapnya saat Karenina melarangnya untuk istirahat karena kala itu Bu Joko terlihat tidak dalam kondisi yang sehat.

"Saya nyapu rumah dulu ya, Mbak," pintanya.

Menggeleng, Karenina mengusap pelan bahu khadimatnya.

"Bu, Ibu ke pasar saja. Untuk urusan menyapu dan membersihkan rumah biar saya yang menyelesaikan."

Perempuan paruh baya itu terlihat ragu, tetapi cepat Karenina meyakinkan.

"Hari ini Bu Joko belanja lebih dari biasanya, Bu. Selain itu, kita berdua nanti akan membuat beberapa kue lebaran, jadi impas. Gimana? Kita deal?" tanyanya dengan wajah jenaka.

Bu Joko tertawa kecil lalu mengangguk. "Kalau begitu, saya ke pasar ya, Mbak?"

Karenina mengangguk dengan memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi.

**

Wafi bersiap ke pesantren, pria bertubuh tegap itu terlihat gagah dengan jubah hitam dengan aksen putih di lengannya. Sembari merapikan rambut dia melangkah ke ruang tengah. Di sana ada sang istri yang baru saja selesai mengenakan kaus kaki.

"Sudah siap?" tanyanya pada Mutia.

"Siap, Mas. Oh iya, nanti aku boleh ajak Nina jalan ya?"

"Jalan? Kan kamu mau mengisi pengajian di Masjid Al-Hijrah? Kenapa mau ngajak jalan Aisyah?"

Kening Mutia berkerut mendengar nama yang barusan dia dengar.

"Aisyah? Siapa Aisyah?"

Sadar jika dia memiliki panggilan yang berbeda kepada Karenina, Wafi menepuk dahinya lalu tertawa kecil.

"Aisyah itu nama belakang Karenina, kamu pasti tahu, kan?"

Masih menunggu penjelasan sang suami, Mutia menyipitkan matanya.

Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang