Menikahi Luka 16

1.9K 159 5
                                    

Hari pertama sahur dengan suami adalah hal yang sama sekali tidak pernah dia pikirkan. Secepat itu statusnya berubah. Semua itu tentu karena Allah rida. Karena tanpa ada rida dari-Nya maka apa yang saat ini terjadi padanya tidak akan pernah ada.

Semalam dia sama sekali tak bisa memejamkan mata. Wafi seperti sangat memahami kegelisahan istrinya. Maka malam tadi dia memberi ruang bagi sang istri untuk benar-benar bisa memahami dan menyesuaikan diri sebelum melakukan apa yang sudah menjadi hal dan kewajiban sebagai suami istri.

Semalam dia dan Wafi memang tidur satu ranjang, tetapi masing-masing terlelap setelah berdialog tentang apa pun yang ingin didiskusikan.

Karenina menyuguhkan dadar telur dan tumis kacang serta tempe goreng di meja makan. Tidak istimewa, tetapi terasa bermakna karena Wafi menemaninya menyediakan menu sahur hari itu.

"Memasak itu mudah, kan?" Wafi menatapnya sembari
tersenyum.

"Iya, Mas, tapi kalau memasak yang lainnya mungkin saya harus banyak belajar," jawabnya.

Mereka berdua lalu menikmati malam sahur hari itu. Rasa nyaman itu hadir di hati Karenina, rasa lebih tenang dan merasa terlindungi demikian terasa.

"Hari ini kamu di rumah aja ya. Paling nggak sampai satu pekan ke depan. Aku juga nggak ke mana-mana. Paling ngajar terus pulang ke sini." Pria itu mendorong piringnya yang sudah kosong.

Mengangguk Karenina kembali menuangkan air putih ke gelas Wafi.

"Nanti kamu nggak usah masak, kita beli aja di luar."

"Kenapa, Mas? Saya rencana mau memasak buat Mas Wafi."

Tersenyum lebar, Wafi menggeleng.

"Biasanya kalau pengantin baru pada umumnya, kan ada bulan madu, tuh. Nah, karena kamu menikah bukan dengan pria bujangan dan punya banyak kesibukan, jadi bulan madunya ditunda ya. Maka anggap saja satu pekan meliburkan diri tidak ke mana-mana adalah bukan madu yang sementara ini bisa kuberikan padamu," paparnya dengan mata yang tak henti memindai sang istri.

Lagi-lagi dia dibuat terpesona dengan tampilan istrinya. Karenina terlihat sederhana dengan wajah tanpa makeup dan rambut yang dicepol asal sehingga masih menyisakan beberapa rambut yang tergerai.

"Maafkan aku untuk itu ya, Aisyah. Maafkan aku yang belum bisa mengajak kamu berbulan madu."

Menggeleng cepat, Karenina tersipu.

"Bukan madu itu hanya seremonial, Mas. Ada banyak hal yang lebih bisa dilakukan dari hanya sekadar berbulan madu. Saya tidak pernah meminta dan tidak pernah mengkhayalkan tentang itu."

Mata pria itu menyipit. Pemikiran yang sangat berbeda dari perempuan kebanyakan, bahkan dari Mutia waktu itu.

"Bukannya hal itu disukai hampir semua perempuan? Kenapa kamu tidak pernah menginginkan itu?" tanyanya tertarik.

"Sejak awal saya memahami bahwa agama ini mengajarkan kepada sebuah kesederhanaan. Mengajarkan apa yang bermanfaat dan apa yang tidak. Siapa pun berhak memilih dan mempunyai pendapat, tetapi bagi saya untuk apa berbulan madu jika ada banyak hari ke depan yang seharusnya lebih diisi dengan hal yang manis-manis setiap harinya, daripada hanya beberapa hari dan disebut bulan madu," jelas Karenina tegas.

Kali ini wajah Wafi terlihat sangat bahagia. Tak menyangka jawaban perempuan yang memiliki banyak cerita hidup itu mempunyai pemikiran yang tak pernah dia pikirkan sama sekali sebelumnya.

"Aku suka mendengar jawabanmu!"

"Masyaallah, terima kasih, Mas. Ini hanya penafsiranku saja. Bukan berarti semua orang harus menafsirkan seperti ini."

Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang