Karenina terkejut saat dia menutup pintu kulkas, karena Hadijah sudah ada di sampingnya.
"Umi? Umi perlu apa? Kenapa Umi ke dapur? Biar saya yang ...."
Hadijah menggeleng, dia mengambil nampan berisi puding dari tangan menantunya kalau meletakkan di meja pantry. Melihat Hadijah yang bersikap tak biasa, keningnya berkerut.
"Ada apa, Umi?"
"Ikut Umi ke kamar sebentar," ajaknya sembari menggandeng tangan Karenina.
Hadijah menutup dan mengunci pintu kamar, sementara Karenina diam gak mengerti apa maksud mertuanya berbuat seperti itu.
"Umi? Ada apa ini?"
"Nina, maafkan Umi, tapi ini Umi lakukan agar kamu tidak bersedih, Nak," tuturnya. "Kita duduk dulu!" Dia memberi isyarat agar Karenina untuk ikut duduk di sofa tak jauh dari tempatnya berdiri.
Hadijah menyentuh punggung sang menantu.
"Umi bisa merasakan kamu tidak baik-baik saja, Nina. Umi sangat paham dengan apa yang kamu rasakan. Maafkan, Umi, Nina."
"Tapi Umi percaya kamu bisa paham dengan apa yang terjadi saat ini. Ini semua di luar dari logika dan perkiraan Umi sebagai manusia. Kamu percaya itu, kan?"
Dia mengangguk memahami maksud mertuanya. Tak lagi berkata-kata, Hadijah meraih tubuhnya. Mereka berpelukan.
Air mata Karenina luruh begitu saja ketika Hadijah memeluknya erat. Sekian lama merindukan kehadiran seorang ibu, kini dia seperti mendapatkan kembali sosok ibu yang lama dia rindukan. Berkali-kali Hadijah membisikkan agar dirinya bersabar karena apa yang terjadi ini pasti selalu ada campur tangan Allah.
Tak diduga ternyata, Hadijah tahu apa yang ada dipikiran menantunya. Siapa pun pasti akan merasa luka jika berada pada posisi Karenina saat ini.
"Umi tahu kamu kamu tidak punya perasaan yang buruk, tetapi Umi juga tahu, sebagai perempuan kamu pasti sedang merasa dilema. Iya, kan?" Dia mengurai pelukan.
"Umi, Umi tidak perlu khawatir, saya tahu apa yang harus saya lakukan. Saya sangat paham dengan semua yang terjadi pada hidup saya," tuturnya lirih.
"Umi tidak perlu merasa bersalah, karena memang tidak ada yang salah di sini. Semua berjalan pada rel yang seharusnya dan ... mungkin saya yang harus terus belajar untuk menjadi lebih baik lagi," imbuhnya dengan menyeka air mata.
Hadijah terlihat bernapas lega, dia mengusap kembali punggung sang menantu. Perempuan paruh baya itu semakin terpesona dengan ketulusan hati Karenina.
"Sebaiknya sekarang Umi kembali ke ruang makan. Mereka pasti bertanya-tanya kalau Umi lama tidak kembali."
"Iya, Nina. Kamu juga sebaiknya segera kembali bergabung ya."
Tersenyum manis, Karenina mengangguk.
**
Karenina tersenyum lebar saat teringat pujian dari Sofia dan ibu mertuanya soal puding juga kue buatannya di depan semua orang saat makan bersama tadi. Setidaknya hal itu bisa mengalihkan perasaan sendirinya di dalam jamuan makan tersebut.
Gemericik air dari kamar mandi masih terdengar. Pertanda Wafi masih belum selesai membersihkan diri. Sebentar lagi waktu Maghrib tiba. Satu pekan ini waktunya Wafi bersamanya. Meski begitu dia sudah melapangkan hati jika sewaktu-waktu suaminya harus menemani Mutia yang memang harus istirahat total untuk menjaga kandungannya.
Setelah menyediakan baju yang hendak digunakan sang suami ke masjid, dia melangkah menuju dapur. Siang tadi dia memasak sayur asem, sayur favorit Wafi. Setelah cukup lama belajar komposisi yang pas pada Bu Joko akhirnya dia bisa membuat sayur kesukaan suaminya itu. Tak lupa ikan goreng dan sambal dilengkapi dengan perkedel jagung dan tempe goreng. Sederhana, tetapi itulah yang digemari Wafi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...