Sepanjang jalan sepulang dari dokter kandungan, Wafi terlihat sangat gembira. Berulangkali dia memegang tangan Karenina dan menggenggamnya erat. Kebahagiaan itu seolah menular pada Pak Joko. Sopir pribadi Karenina juga terlihat berseri-seri.
"Saya akan mendapatkan anak laki-laki, Pak Joko! Semoga Allah selalu memberikan perlindungan pada Aisyah."
"Aamiin, Mas Wafi. Saya ikut senang mendengarnya." Pria berpeci itu menoleh sejenak kemudian kembali fokus mengemudi.
"Jadi ... Allah langsung memberiku anak perempuan dan laki-laki. Masyaallah, sepasang!" tuturnya dengan tangan terulur ke perut buncit sang istri.
Tersenyum lebar, Karenina mengusap lengan suaminya.
"Mas."
"Heum?"
"Apa Mas mengizinkan saya untuk pindah?"
Wafi mengusap wajahnya, lalu bersandar.
"Saya tahu Mas Wafi berat, tolong jangan disimpulkan saya tidak berat karena meminta ini. Saya hanya ingin yang terbaik untuk anak kita."
Sejenak Karenina diam.
"Saya rasa Mas Wafi juga pasti menginginkan hal yang sama, 'kan?"
Suami Karenina itu mengangguk. Dia menatap sang istri dengan tatapan sedih. Betapa tidak, saat seharusnya dia berbahagia menanti kedatangan sang buah hati, Karenina justru hendak menjauh
Akan tetapi, istri keduanya itu memang seorang perempuan yang kuat dan memiliki rasa tenggang rasa yang tinggi. Karenina bahkan bisa dibilang jarang membicarakan soal dirinya. Selalu saja istrinya itu memikirkan kesehatan umi dan ketenteraman keluarganya.
"Kalau kamu pergi ...." Wafi terdiam lalu menarik napas dalam-dalam. Meski kala menikahi Karenina bukan keinginannya, tetapi istri keduanya itu kini perlahan telah mengikat perasaannya dengan kuat.
"Kalau kamu pindah, kemungkinan akan lebih jarang aku menemuimu, Aisyah. Karena kamu tahu aku ...."
"Saya sudah tahu dan sudah siap dengan apa pun yang harus saya hadapi nanti, Mas. Anak ini adalah karunia bagi saya. Saya tidak mau dia menjadi sasaran kebencian Mbak Hana terhadap saya," selanya lirih sembari mengusap perutnya.
"Aku tahu. Maafkan aku karena perbuatan Mbak Hana semuanya jadi ...."
"Sering saya katakan apa yang terjadi pada saya saat ini bukan kesalahan Mas Wafi. Ini adalah garis takdir yang diberi oleh-Nya untuk saya. Dia ingin melihat sejauh apa saya bisa ikhlas dan bertanggung jawab atas apa yang sudah digariskan." Senyum manis tercetak di mata Karenina.
Meski begitu dia bukan perempuan yang benar-benar kuat. Karenina juga bisa rapuh, dan tanpa disadari mengalir perlahan air mata membasahi pipi halusnya.
Melihat itu, Wafi meraih bahu sang istri dan membenamkan ke dadanya. Momen yang begitu dirindukan oleh Karenina. Berada dalam pelukan Wafi dan membiarkan seluruh sesak di dadanya keluar.
Jika saja bukan Wafi. Jika saja bukan Umi Hadijah dan Sofia, mungkin dirinya akan kembali menjadi perempuan malam yang menjual kehangatan. Tiga orang itu adalah orang-orang yang Allah kirim dan gerakkan hati mereka untuk menolong dan sudi memberi tempat bagi dirinya yang jauh dari kata sempurna.
Pak Joko menoleh, pria yang jika ditaksir berusia lima puluhan itu tersenyum.
"Maaf, Mas Wafi, kita sudah sampai rumah."
"Oh iya, Pak Joko. Tolong Pak Joko bawa belanjaan tadi ke rumah ya."
Mengangguk sopan, pria itu keluar dari mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...