Sayup-sayup terdengar seseorang membaca juz amma. Langit subuh masih pekat, dan suara itu seperti tidak terdengar lelah. Sesekali dia terdiam lalu kembali melanjutkan bacaannya. Dari ayat yang terdengar dia sedang membaca surat Al-Insyirah.
Air matanya mengalir begitu saja saat membaca arti dari ayat tersebut. Dia merasa begitu dekat dengan Sang Pencipta. Seusai salat dia rakaat, dia menyambung dengan membaca Kalam Allah.
Sudah hampir enam bulan dia menempati rumah ini, Karenina merasakan perubahan yang luar biasa padanya, meninggalkan pekerjaan sebagai LC dan beralih menjadi penjual baju-baju muslim adalah profesi dia sekarang.
Meski hasil yang didapat tidak sebesar pada saat bekerja di tempat karaoke, tetapi dia merasa lebih tenang. Masih teringat bagaimana reaksi rekannya Sheila saat dia mengatakan lewat telepon untuk meninggalkan pekerjaannya.
"Kamu mau berhenti? Kamu yakin bisa hidup sederhana? Kamu bilang bukannya kamu mau membalas dendam atas apa yang sudah dilakukan keluarga tirimu itu, kan?" cecar Sheila seolah tak rela jika dirinya berhenti.
"Aku sudah memikirkan semuanya, Sheila. Terima kasih untuk semua kebaikanmu. Aku harap suatu saat kita bisa ketemu, dan aku harap kita bisa tetap berteman."
"Terserah kamu aja, tapi sewaktu-waktu jika kamu butuh aku, telepon aja ya."
"Terima kasih, Sheila. Aku harap kita bisa ketemu."
"Nina."
"Ya?"
"Jonas ...."
"Aku sudah nggak lagi tahu bagaimana kabarnya. Nomor telepon kan sudah aku ganti, dan hanya kamu yang tahu. Kumohon, jangan beri ke siapa pun nomor ini ya."
Terdengar tarikan napas dari seberang.
"Oke. Kamu jaga diri baik-baik ya. Aku harap kamu bahagia dan bisa diterima dengan baik oleh siapa pun tanpa melihat latar belakangmu dulu."
"Makasih, Sheila."
Percakapan selesai.
Karenina menarik napas dalam-dalam mengingat rekannya yang basah dianggapnya sebagai saudara. Sheila-lah yang bisa membantu dia bangkit dari keterpurukan, meski jalan itu tidak bisa dianggap benar. Namun, dari Sheila pula dia bisa memahami arti bagaimana bisa survive dalam hidup.
Karenina melihat ke arah jam dinding, sudah hampir pukul enam pagi. Tidak terasa dirinya sudah hampir empat jam bersimpuh di sajadah. Ada banyak doa yang dia langitkan. Memohon ampun adalah doa yang tak bosan dia pinta.
Besok adalah hari pertama ramadan. Ini adalah kali pertama dia kembali menunaikan puasa setelah entah kapan terakhir dia jalankan.
Nida, anak Sofia tetangganya kemarin sudah demikian antusias menceritakan kebiasaan dia dan uminya saat ramadan tiba. Salah satunya adalah membuat takjil dan membagikannya gratis.
Mengingat cerita Nida, dia menarik bibir singkat. Pagi ini akan ada kajian dari Ustazah Mutia. Setelah beberapa kali mengikuti kajian dari Ustazah Mutia, Karenina merasa dirinya begitu lama terjebak dalam kubangan dosa dan merasa jika dia terlalu meremehkan setiap perbuatan maksiat yang pernah dia lakukan di masa lampau.
Selain ada kajian, nanti juga dia ada jadwal setor hapalan juz sembilan pada menantu dari Umi Hadijah itu. Menelisik latar belakang pendidikan Mutia, dia terkagum-kagum pada kecerdasan perempuan berwajah manis itu. Mutia lulus dengan predikat cumlaude di salah satu perguruan tinggi negeri dan kini menjadi istri dari seorang pria yang juga memilih latar belakang pendidikan yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Terkadang ada sesal di lubuk hatinya, andai dirinya sejak dulu hijrah, sudah barang tentu semua kepahitan ini tidak akan terjadi. Kalau pun terjadi, dia sudah bisa lebih siap menghadapi sehingga tidak sampa bekerja di tempat hiburan malam seperti dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...