Karenina mundur membuat jarak. Tak mungkin dia berbohong. Jika kemarin-kemarin Wafi tidak tahu apa yang terjadi, kini mana mungkin dia tidak berbicara jujur soal obat tersebut.Namun, bagaimana nanti jika Wafi tidak percaya? Buat bagaimanapun Farhana adalah kakaknya dan dia tentu tidak akan percaya begitu saja tentang hal ini.
"Aisyah? Apa yang kamu sembunyikan? Aku suamimu yang berhak tahu apa pun tentangmu. Katakan, ini obat apa?" Suara Wafi terdengar lembut, tetapi jelas ada ketegasan di sana.
"Itu ... itu obat ...." Dia tak bisa menahan tangis. Air mata Karenina tumpah begitu saja. Sehingga dia tidak bisa melanjutkan ucapannya.
"Aisyah? Kamu kenapa? Tolong jangan bikin aku bingung." Wafi mengajaknya untuk duduk di ranjang.
"Bilang ke aku, ada apa sebenarnya? Kamu kenapa?" Kembali dia bertanya, tetapi kali ini sambil mengusap pipi basah sang istri.
"Mas Wafi."
"Ya? Kenapa?"
"Mas Wafi janji tidak akan marah pada siapa pun?"
"Marah? Kenapa harus marah?" Matanya menyipit mendengar perkataan sang istri.
Karenina berupaya tenang, dia menarik napas dalam-dalam lalu membuang perlahan.
"Janji ya, Mas. Kalau pun marah, marah saja ke saya. Saya nggak apa-apa."
"Hei hei, ada apa ini sebenarnya, Aisyah? Ada apa?"
"Obat itu ...."
"Iya? Kenapa obat ini?"
"Mbak Hana yang memberikan ke saya untuk diminum."
Wafi menautkan alisnya menelisik paras Karenina.
"Mbak Hana? Kenapa Mbak Hana? Ini sebenarnya ada apa?"
"Mas Wafi."
Wafi menangkup wajah Karenina dengan kedua tangannya.
"Mbak Hana memberikan obat itu agar saya meminumnya."
"Iya, tapi ini obat apa?" Terdengar nada suara tak sabar dari Wafi.
"Obat anti hamil," jawabnya lirih dengan bibir gemetar.
Wajah Wafi sontak berubah, rahangnya mengeras dengan mata berkilat amarah.
"Apa kamu bilang, Aisyah? Obat anti hamil? Mbak Hana memberimu obat ini dengan tujuan supaya kamu tidak hamil?" Dadanya naik turun dengan wajah memerah.
"Mas Wafi, sabar. Mas istighfar." Karenina mencoba menenangkan.
"Dan kamu diam saja? Kamu menuruti apa yang diperintahkan Mbak Hana?"
"Nggak, Mas. Nggak! Dengar penjelasanku dulu, Mas."
Wafi memijit pelipisnya, kekecewaan bercampur amarah memenuhi rongga dadanya. Sigap Karenina mengambil air mineral yang memang selalu tersedia di kamarnya.
"Minum dulu, Mas. Tenangkan hati, istighfar, ambil wudu," tuturnya lembut.
Wafi bangkit menuju kamar mandi, setelah meneguk minuman di tangan istrinya.
"Mas mau berbaring?" tanyanya saat sang suami selesai berwudu. "Berbaring di sini, supaya lebih tenang." Dia menepuk paha mempersilakan sang suami berbaring di sana.
Perlahan Wafi merebahkan tubuhnya. Napas pria itu terlihat lebih stabil dan tenang. Pun demikian dengan wajahnya yang terlihat dipenuhi amarah tadi sudah sedikit pudar.
"Aisyah, tolong ceritakan ke aku apa yang sebenarnya terjadi. Tolong jujur ke aku."
Sembari mengusap rambut Wafi, Karenina menceritakan hal yang sesungguhnya bagaimana awal mula Farhana memberikan obat itu padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...