Karenina mengajak Bu Joko berbelanja kebutuhan dapur pagi itu. Selain ke pasar, dia mengajak Bu Joko ke toko kain langganan butik tempat dia bekerja. Diantar Pak Joko sopir pesantren yang juga suami dari khadimatnya, mereka berdua tiba di toko yang dituju.
"Mbak Nina apa tidak sebaiknya istirahat dulu Mbak? Kan kata dokter kemarin Mbak harus banyak istirahat." Bu Joko menatap Karenina yang tengah mengamati salah satu bahan yang disodorkan.
Perempuan yang mengenakan gamis hitam itu menggeleng sambil tersenyum.
"Iya, Bu. Saya memang akan istirahat dan akan fokus ke kehamilan ini, tapi saya harus menyelesaikan tanggung jawab untuk Butik Rafika," paparnya. "Setidaknya saya harus membuat tiga desain dengan bahan-bahan ini, setelah itu saya rehat."
Terlihat Bu Joko menghela napas lega mendengar penuturan Karenina.
"Mbak Nina."
"Hmm? Ya, Bu? Kenapa?"
"Saya sebenarnya khawatir kalau Mbak Nina sendirian di rumah kalau malam." Suara Bu Joko terdengar pelan.
"Khawatir kenapa, Bu?"
Perempuan berjilbab putih itu menggeleng samar. Meski Karenina bukan putrinya, tetapi dia merasa istri kedua Wafi ini harus dilindungi. Karena menurutnya, Karenina memang butuh seseorang yang menjaganya dari niat tak baik yang tentu saja berasal dari Farhana.
"Mbak Hana, saya takut kalau Mbak Hana ...."
Karenina menarik napas dalam-dalam lalu tersenyum. Dia meminta agar pelayan meletakkan kain yang disodorkan tadi ke mobilnya.
"Pak Joko, tolong bantu mas mas ini ya," pintanya yang disambut anggukan oleh pria ramah tersebut.
"Bu Joko, kita ke mobil, ya. Semua yang kita perlukan sudah kita beli dan ... kain untuk butik juga sudah. Ayo!" ajaknya sembari beranjak dari duduk.
Mengangguk, sang khadimat itu ikut bangkit dan melangkah mengekor Karenina.
"Mbak Nina, maafkan saya, nggak seharusnya saya tadi bicara begitu di tempat umum, tapi ...."
"Nggak apa-apa, Bu. Saya ngerti, kok. Cuma lain kali ada baiknya jangan diulangi ya, Bu. Karena Ibu pasti tahu, butik ini langganan orang-orang yang tentu sangat tahu siapa saya dan keluarga Mas Wafi, dan begitu juga para pelayannya."
"Iya, Mbak. Maafkan saya," tuturnya merasa bersalah.
"Nggak apa-apa, Bu."
"Nina, kamu Karenina, 'kan?" Sapaan seseorang membuat langkah keduanya berhenti.
Merasa namanya dipanggil, perlahan dia menoleh ke asal suara. Mata Karenina memindai seorang perempuan memakai gamis bunga-bunga dengan jilbab abu-abu tengah menatapnya dengan tatapan haru.
Tak percaya dengan apa yang dia saksikan, Karenina menggeleng samar, meski dengan tatapan mata yang tak beranjak dari sosok perempuan paruh baya yang tengah berdiri berjarak satu setengah meter darinya.
"Mama Mira? Ini beneran Mama Mira?" tanyanya dengan bibir bergetar.
Perempuan itu mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Sementara Karenina tak sanggup menyembunyikan perasaannya. Dia segera menghambur ke pelukan Mira dengan terus memanggilnya mama.
"Maafkan Mama, Sayang. Mama banyak salah padamu. Sudah lama Mama mencarimu, tapi Mama hanya mendengar kalau kamu sudah ...."
Karenina melepas pelukan, dia mengangguk lalu mengusap wajah perempuan itu.
"Mama mau ke mana? Mama kok jauh sekali sampai ke sini? Mama belanja? Sendirian? Mbok Ti kemana? Terus ...."
Mira menggeleng cepat dia kemudian dengan singkat menceritakan semua hal yang berhubungan dengan perusahaan dan rumah kediaman mereka dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...