Dua hari sudah Karenina tak lagi tinggal di apartemen. Hal itu dilakukan tentu saja untuk menghindari Jonas. Beruntung barang-barang miliknya sudah dibereskan oleh Yara rekannya yang juga dekat dengan Sheila.
Meski sudah berupaya menghindari Jonas, tetapi tentu tidak bisa menghalangi pria itu untuk mencari dan berusaha menemui Karenina. Seperti malam itu, saat dia hendak bersiap untuk pulang. Jonas tiba-tiba saja berada di hadapannya.
Pria berhidung mancung itu menatap penuh rindu padanya.
"Nina, aku mau kita bicara!" mohonnya meraih lengan Karenina.
"Bicara apa, Jo. Bicara aja sekarang. Aku capek, mau istirahat," elaknya sembari mengambil ponsel dari tas tangannya.
"Kenapa kamu seperti menghindari dariku? Kamu nggak ada di apartemen, teleponku nggak pernah kamu terima, pesan aku juga nggak pernah kamu buka. Kamu kenapa, Nin?" cecarnya dengan paras frustrasi.
Karenina melipat kedua tangannya ke dada, menatap kekhawatiran Jonas membuat hatinya menghangat. Pria itu begitu tulus melindungi dan mencintainya, dan tak dipungkiri, dia pun memiliki rasa yang sama.
Akan tetapi, memiliki seorang ibu adalah hal yang sangat berharga. Mempunyai orang tua adalah kekayaan yang tidak bisa dinilai dengan apa pun di dunia ini. Cinta tulus dari mereka tidak pernah ada yang bisa menandingi.
Karenina sudah merasakan bagaimana saat kehilangan seorang mama dan harus ditinggalkan oleh papanya. Semua begitu dalam meninggalkan luka.
Rantai kasih sayang mama Jonas yang demikian kuat itu membuat Karenina harus membuang jauh egonya. Dia tak ingin Jonas membenci mamanya dan dia pun tak menjadi sebab renggangnya hubungan ibu dan anak.
"Nina." Lembut Jonas mengusap pipi Karenina.
"Maafin aku, Jo," tuturnya lirih dengan mata berkaca-kaca.
"Hei, kamu kenapa, Nin? Apa aku ada salah? Apa aku bikin kamu sedih?" Mata pria itu menyipit. Masih dengan suara rendah dia mengajak Karenina untuk duduk di bangku yang tak jauh dari tempat mereka.
Karenina duduk menutupi paha mulusnya yang terekspos. Entah kenapa setelah beberapa waktu lalu diajak salat oleh pelayan di restoran tempo hari, dirinya mulai merasa tidak nyaman jika harus mengenakan baju yang minim, meski tuntutan pekerjaannya.
Belakangan ini, setelah selesai bekerja, dia segera mengganti dengan celana panjang dan sweater untuk menutupi bagian atas tubuhnya yang menjadi salah satu dari daya tarik pelanggannya.
Kekikukan Karenina terbaca oleh Jonas. Dia melepas jaket dan menutupi paha perempuan di sebelahnya.
"Thank you, Jo."
Tak menjawab, dia menatap hangat pada Karenina. Pria beralis tebal itu mencium ada sesuatu yang disembunyikan oleh Karenina.
"Nina, kamu belum menjawab pertanyaanku. Kamu kenapa?"
Membasahi kerongkongan, Karenina mengangkat wajahnya.
"Jo, aku minta maaf. Aku nggak bisa meneruskan hubungan ini. Maafkan aku. Ini semua demi kita berdua," jawabnya masih dengan suara pelan.
Kening Jonas berkerut, dia memiringkan kepala menatap lebih dalam pada mata Karenina.
"Maksud kamu apa, Nin? Maksud kamu demi kita berdua itu apa?"
Karenina tak menjawab, dia hanya menggeleng perlahan. Dia tahu hati pria di depannya itu tentu sangat gusar dengan penuturannya. Ada alasan yang panjang yang tentu jika dia utarakan akan menjadi semakin lama dia berdua bersama Jonas di tempat ini. Sementara malam sudah beranjak dan sebentar lagi akan berubah menjadi dini hari.
"Menikah adalah sesuatu yang sakral, Jo. Memulai hidup baru dengan pasangan yang akan selamanya mendampingi itu bukan hal yang mudah, apalagi dengan pekerjaan aku saat ini. Aku bisa saja, kan mencari pria lain yang lebih kaya dan lebih segalanya dari kamu. Apa kamu nggak takut itu terjadi?" tanyanya memberanikan diri membalas tatapan Jonas.
"Aku bukan perempuan baik-baik, Jo. Dan aku nggak yakin bisa berubah saat kita menikah nanti. Karena bagiku yang penting adalah ...."
"Cukup, Nina! Ini yang kamu mau?"
Karenina mengatupkan bibirnya sambil mengangguk menahan gejolak emosi yang mengaduk-aduk perasaannya.
"Secepat itu kamu mengambil keputusan untuk berpisah setelah baru saja kita bertemu mamaku?"
Dia tak menjawab, Karenina menunduk.
'Secepat itu? Tentu saja tidak, Jo. Aku bahkan mengatakan ini karena kamu tiba-tiba hadir di depanku. Andai kamu tidak pernah muncul, aku pun tidak akan pernah mengarang alasan ini karena memang tidak ada alasan apa pun yang sebenarnya harus kukatakan,' hatinya berbisik.
"Jawab aku, Nina. Apa ini benar-benar keputusan kamu? Atau jangan-jangan ada orang lain yang masuk dalam hidupmu dan orang itu memiliki apa yang kamu inginkan?"
Karenina bungkam.
"Kenapa diam, Nin? Apa benar apa yang aku katakan tadi? Apa kamu bahagia bertemu dengan dia? Apa kamu mencintainya? Apa dia mencintaimu seperti aku mencintaimu?"
Rentetan pertanyaan Jonas tak satu pun yang sanggup dijawab oleh Karenina. Dia hanya menarik napas dalam-dalam kemudian perlahan diembuskan. Andai dia tahu jika keputusan ini adalah karena mamanya, tentu pria di depannya tidak akan tinggal diam. Akan tetapi, Karenina tak ingin Jonas tahu soal ini.
"Terserah apa yang kamu simpulkan tentang keputusan ini, Jo, tapi ...."
"Tapi apa ...."
"Tapi aku nggak bisa bertahan dan melangsungkan impian kita."
Jonas tampak terpukul. Dia mengacak rambut kasar lalu mengusap wajahnya.
"Iya, tapi karena apa, Nina. Kamu bahkan tidak menjawab alasannya."
"Oke, oke kalau itu yang kamu mau. Kalau memang kamu bisa menemukan bahagia ... silakan. Nggak apa-apa. Aku terima."
Sunyi, mereka berdua sejenak saling diam.
"Maafkan aku kalau kamu merasa terganggu selama ini, aku harap kamu happy dengan hidup dan pilihanmu. Aku janji nggak ganggu kamu lagi. Bye, Nina." Jonas meraih tangan Karenina dan memberikan gelang kayu bertuliskan nama mereka berdua.
"Kamu bisa buang itu," ujarnya menarik napas dalam-dalam kemudian bangkit dari duduk. "Aku pergi. Jaga dirimu baik-baik, Nina."
Jonas melangkah meninggalkan Karenina yang semakin menunduk. Pria itu tak tahu jika hatinya justru berteriak mengatakan betapa dia tak sanggup jauh dari Jonas.
Betapa dia sangat memerlukan pria itu, betapa dia merasa sangat sulit karena tidak ingin melihat hubungan ibu dan anak pecah. Semua itu telah menjadikan dirinya hancur. Bahkan Karenina tidak tahu akan ke mana setelah ini, mengingat pekerjaannya sangat sering bertemu dengan Jonas.
Melangkah lesu, Karenina melangkah menuju halte menunggu taksi yang sudah dia pesan barusan. Ada satu sisi jiwanya yang kosong, ada perasaan yang hancur melebur dan menguap bersama angan yang gak mungkin lagi bisa menjelma indah. Hilang ... semuanya telah hilang dan Karenina kembali sendiri dalam sepi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...