Karenina menunggu Mutia yang tengah menerima telepon, kakak madunya itu terlihat serius mendengarkan seseorang di seberang sana. Sementara Karenina menjauh karena tak ingin seolah menguping pembicaraan itu. Dia memilih berjalan ke taman masjid, melihat aneka bunga cantik yang terawat dengan sangat indah di sana.
Masjid memang tempat yang paling nyaman untuk disinggahi. Di tempat itu siapa pun bisa berlama-lama bermunajat, dan melepas penat. Sementara jalanan mulai dipenuhi kendaraan yang tak lelah menghadapi kemacetan setiap sore.
Karenina melangkah melihat ke salah satu sisi taman, matanya tertuju pada ponsel yang tergeletak di bangku yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Sejenak dia menoleh sekeliling mencari si empunya, tetapi tak ada satu orang pun yang berada di sekitar tempat itu.
Ragu dia mendekat berinisiatif hendak menyerahkan benda itu ke pengurus masjid. Akan tetapi, saat baru saja dia hendak mengayun langkah lebih dekat, seorang pria berlari kecil dan hampir saja menabraknya.
"Ups, afwan.Ukh! Nggak sengaja. Permisi," tuturnya sopan dengan menundukkan pandangan kemudian mengambil ponsel tersebut.
"Alhamdulillah." Pria berbaju koko hitam itu menghela napas lega. Dia lalu menatap Karenina yang masih terkejut dengan kedatangan pria itu tiba-tiba.
Tatapan pria itu menjadi semakin intens saat menyadari jika di depannya adalah seseorang yang tidak asing.
"Afwan ... Nina? Kamu Karenina?" Pria itu menyipitkan mata sembari mencoba memindai paras perempuan di depannya. "Kamu beneran Karenina Aisyah?" Kembali pria itu bersuara.
Mendengar suara dan membalas tatapan pria itu meski singkat cukup bisa mengembalikan memorinya meski dirinya hampir tak percaya. Namun, tato di pergelangan tangan pria itu dan gelang kayu yang pernah mereka kenakan bersama waktu itu tidak bisa dia lupa begitu saja meski tato Jonas sudah terlihat samar.
Sadar jika dia hanya berdua di tempat itu, secepat kilat Karenina mundur lalu meninggalkan Jonas yang masih mematung tak percaya.
Karenina mempercepat langkah, dia tak menyangka bisa bertemu Jonas kembali di tempat yang sama sekali berbeda saat mereka pertama kali bertemu.
Tentu saja kini Jonas telah banyak berubah. Pria itu terlihat sangat rapi dan tatapannya tak lagi berapi-api seperti yang lalu. Tatapannya terlihat teduh dan suara dan pembawaannya pun terdengar lebih santun.
Sementara Jonas yang tersadar seperti tak ingin kehilangan momen pertemuan mereka. Dia berlari mengejar Karenina, berharap bisa bercakap-cakap meski sejenak.
"Nina, tunggu! Aku mau bicara sebentar!" seru Jonas membuntuti dari belakang. "Sebentar saja!"
Tak menggubris panggilan Jonas, dia terus berjalan.
"Nina? Dia siapa?" Mutia yang sudah selesai menelepon melangkah mendekat. Mata istri Wafi itu memindai Jonas yang kini telah berada di hadapan keduanya.
"Afwan, saya Jonas saya ... teman lama Karenina," tuturnya memperkenalkan diri dengan sopan.
"Oh, jadi dia teman kamu, Nin?"
Karenina mengangguk samar, tetapi sama sekali tidak mengangkat wajahnya.
"Iya, sudah lama kami tidak bertemu."
"Kalian mau bicara? Bicara saja di sini, aku yang akan jadi orang ketiganya. Mungkin ada hal yang mau dibicarakan, Nin?" Mutia memindai Karenina.
"Nggak, Mbak. Lebih baik kita pulang sekarang."
Mutia menatap Jonas lalu menyampaikan apa yang dikatakan adik madunya. Meski berbalut kecewa karena tidak bisa bercakap-cakap, Jonas hanya bisa mengangguk sembari tersenyum.
Pria itu menarik napas dalam-dalam membiarkan mobil berwarna putih tersebut meluncur. Ada rasa lega di hatinya saat tahu jika kini perempuan yang pernah mengisi hati itu telah berubah dan baik-baik saja.
Akan tetapi, ada juga kerinduan yang menyesal dan rasa bersalah karena dia pernah berprasangka buruk padanya. Andai kala itu dia tahu jika mamanya yang meminta Karenina untuk menjauh, tentu dia akan menjadi orang yang akan selalu meyakinkan sang mama agar bisa menerima Karenina.
"Karenina ... kamu juga sudah berubah," batinnya. "Semoga Allah bisa mempertemukan kita lagi."
Sepanjang perjalanan pulang, Karenina lebih suka bertanya soal beberapa hal yang berkaitan dengan hukum fiqih. Karena tentu saja dia sebagai orang awam dia harus banyak bertanya dan belajar untuk lebih paham. Selain itu tentu saja dia tak ingin ditanya soal Jonas. Karena sudah pasti Mutia akan berpikir hal yang membuat dirinya menjadi tak nyaman.
"Eum ... tadi itu, teman kamu?" Mutia bertanya sambil mengemudi.
"Iya, Mbak. Teman ... lama."
Mutia mengangguk.
"Kamu nggak perlu khawatir, Nin. Aku juga perempuan dan tahu perasaan kamu. Aku percaya kamu tidak seperti yang dibicarakan Mbak Hana kepadaku tempo hari," ungkap Mutia seolah tahu kegelisahan adik madunya.
"Makasih, Mbak. Makasih sudah percaya pada saya."
"Semua orang punya masa lalu, kan? Masa lalu yang buruk bukan hal yang penting untuk ditoleh lagi. Akan lebih baik dijadikan pelajaran untuk bisa memperbaiki diri. Itu yang kuyakini," paparnya.
Senyum tercetak di bibir Karenina mendengar ucapan Mutia. Dia tidak pernah berhenti bersyukur karena Allah telah mempertemukan dengan keluarga besar suaminya meski Farhana kakak pertama Wafi terlihat tidak bisa menerimanya. Namun, dia bisa memaklumi dan memahami karena memang tidak semua orang bisa percaya pada kehidupan silam perempuan malam sepertinya.
"Nina."
"Ya, Mbak?"
"Aku benar-benar bersyukur bisa mendapatkan persetujuan darimu untuk menjadi istri Mas Wafi, karena ... dari semua akhwat yang pernah kutawari, mereka menolak dengan alasan tidak siap dan tidak percaya diri. Padahal andai mereka menelaah dengan baik apa essensi dari semua ini pastilah mereka akan terima."
Mutia lalu menjelaskan alasan yang paling mendasar dari keputusannya. Anak menurutnya adalah hal terpenting untuk melanjutkan keturunan dan juga perjuangan. Dirinya pernah begitu patah saat harus tahu jika dia tidak seberuntung perempuan lain yang bisa hamil.
"Tapi, Mbak, Mbak bilang vonis dokter bisa A, tapi belum tentu ketentuan Allah juga A, kan?" Karenina mencoba mengalihkan rasa sedih yang kembali tersirat di mata Mutia.
Mutia tersenyum tipis. Dia mengangguk membenarkan ucapan itu.
"Aku sedang bicara soal logika, Nin. Soal takdir dan kejutan dari Allah itu akan selalu ada. Aku yakin meski dalam bentuk berbeda. Kamu paham, kan?"
"Iya, Mbak. Saya paham."
Kembali Karenina harus mengakui jika hati Mutia memang seluas samudera, jika sudah begitu, apakah dia bisa menolak semua harap yang diberikan padanya? Apakah dia masih menunggu Wafi menatapnya penuh cinta? Apakah dia masih berpikir jika melakukan hubungan suami istri harus dengan perasaan cinta yang jauh dari pamrih untuk mendapatkan keturunan?
"Kenapa berhenti, Mbak?" Karenina terkejut saat Mutia menepikan mobilnya tepat di depan apotek.
"Testpack! Kamu harus sedia testpack," ujarnya dengan mata berbinar
"Testpack? Tapi saya, kan ....
"Aku tahu, mungkin ini terlalu dini, tapi benda itu harus ada di lemarimu jika sewaktu-waktu kamu terlambat datang bulan!" jawabnya sembari melepas sabuk pengaman. "Kamu tunggu di sini ya. Biar aku yang beli!"
Tak menjawab, Karenina hanya diam melihat Mutia keluar dan berjalan penuh semangat ke dalam apotek.
"Aku harus memberi kebahagiaan untuk Mbak Mutia dan Mas Wafi. Semoga Allah segera mengabulkan keinginan mereka," gumamnya seraya mengusap perut.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...