Menikahi Luka 25

1.7K 154 8
                                    

Bibir Karenina bergetar melangitkan rasa syukur, takbir tak henti meluncur dari bibirnya. Sementara mata beningnya terlihat berkaca-kaca. Kabar yang diterima di malam lebaran itu telah membuat perasaannya bercampur aduk. Ada kebahagiaan dan rasa syukur, tetapi ada pula ribuan pertanyaan yang tidak bisa terjawab.

Luapan kebahagiaan Wafi terdengar begitu dalam saat memberitahukan kabar kehamilan Mutia. Pria itu bahkan seolah tak mendengar pesan bahagianya agar disampaikan kepada Mutia. Hari Karenina seperti ada luka yang dalam yang darahnya perlahan mengalir ke seluruh sendi tubuh.

Setelah sekian lama akhirnya Allah menjawab dia dan harap Wafi, Mutia dan tentu saja seluruh keluarga besar termasuk para asatiz dan seluruh santri dan juga jamaah pengajian. Memasuki satu Syawal dia itu diijabah, tentu aja dia pun berbahagia untuk itu, meski kini dirinya perlahan mulai merasa tidak lagi dibutuhkan.

Kehadirannya yang tiba-tiba dengan latar belakang yang sangat berbeda dengan Wafi kini membuat Karenina tak ubahnya seperti seseorang yang menumpang pada perahu kertas yang sewaktu-waktu robek dan dirinya-lah yang akan berkorban atau mungkin dikorbankan untuk tenggelam.

Dinikahi dengan harapan agar Wafi bisa mendapatkan keturunan, tetapi ternyata skenario Allah berbeda. Dia bahkan belum sama sekali 'disentuh' oleh suaminya itu. Kini saat tahu Mutia tengah hamil, tak ada ya g tahu apakah yang nanti terjadi padanya.

Terlebih Farhana sudah sedemikian rupa mewanti-wanti agar dirinya tidak hamil dan anak tertua Umi Hadijah itu pun sudah mengatakan jika tidak pernah rela apabila ternyata dirinya hamil.

"Kami berdua sangat bahagia. Terlebih Mutia, meski dia masih lemah karena tidak selera makan apa pun," terang Wafi saat dia menelepon tadi.

Mutia tentu sangat membutuhkan seseorang yang menemaninya di saat seperti ini. Dia butuh Wafi, karena biar bagaimanapun ini adalah kejutan dari Allah yang sudah sepatutnya mereka berdua rayakan. Mutia tentu akan merasa lebih tenang jika ada Wafi di sisinya.

"Mas harus bisa membuat Mbak Mutia kembali berselera makannya, Mas. Supaya Mbak dan calon jabang bayi kalian bisa tumbuh sehat," ungkap Karenina menjawab cerita sang suami.

Wafi mengiyakan, dia lalu kembali mengucap syukur dan berterima kasih juga pada Karenina karena ikut berbahagia mendengar kabar tersebut.

"Sampaikan salamku untuk Mbak Mutia, katakan aku sangat bahagia mendengar kehamilannya."

"Sudah ya, Aisyah, aku mau mengabarkan ke Abah Burhan," putusnya setelah itu mengucap salam dan obrolan berakhir.

Sunyi, bahkan terasa lebih sunyi dari hari-hari sebelumnya. Gema takbir dari masjid pesantren masih terdengar merdu mendayu. Karenina bangkit dari duduk menuju ke kamar mandi. Salat dua rakaat adalah caranya untuk meredakan pikiran yang mendadak riuh tak bisa dicegah di kepalanya.

**

Pak Joko baru saja pulang dari takbir keliling di kampung saat melihat sang istri termenung menatap barusan toples di meja tamu mereka. Pak Joko yang bekerja sebagai tukang kebun di pesantren itu menyipitkan mata melihat gesture gak biasa dari istrinya.

"Bu, kamu kenapa to? Bapak lihat sejak beberapa hari yang lalu murung terus?" Pria paruh baya itu menghampiri dan duduk di samping sang istri.

"Aku ini ... aku ini sedang memikirkan sesuatu, Pak."

"Memikirkan apa? Anak kita Fahri, kan udah kasi kabar kalau lusa bakal pulang, Bu. Apa lagi yang kamu pikirkan?"

Perempuan berkulit cokelat itu menggeleng cepat.

"Bukan itu, Pak. Kalau itu aku juga sudah tahu."

"Kalau bukan itu, lalu apa?" Joko memiringkan tubuhnya menghadap sang istri.

"Itu loh, Pak. Mbak Nina. Mbak Karenina," jawabnya ragu.

"Kenapa Mbak Nina? Apa Mbak Nina sakit?"

Menggeleng, istrinya itu membalas tatapan Joko.

"Aku kok kasihan sama dia." Suaranya terdengar lirih.

Joko menarik napas dalam-dalam lalu menyandarkan kepalanya di bahu kursi.

"Kasihan kenapa? Wong memang dia istri kedua atas permintaan Mbak Mutia, ya wajar kalau dia seperti di nomor duakan," paparnya enteng.

Perempuan yang mengenakan baju terusan berwarna abu-abu itu menoleh. Dengan mata penuh selidik dia berkata, "Maksud Bapak apa? Mbak Nina itu tidak pernah merasa di nomor duakan. Lagipula Ustaz Wafi itu tidak pernah seperti yang Bapak bilang itu! Apalagi Mbak Mutia, dia sangat baik pada Mbak Nina!" ujarnya sengit.

"Lah kok malah kamu marah sama aku to, Bu?" Joko menatap heran.

"Ya jelas aku marah! Wong ini nggak ada hubungannya dengan nomor satu atau nomor dua, kok!" tukasnya kesal.

"Lah terus apa?"

Perempuan itu menarik napas dalam-dalam lalu membuang-buang perlahan. Dengan hati-hati dia bercerita tentang apa yang didengarnya beberapa waktu lalu saat Farhana bertandang ke kediaman Karenina. Terlihat matanya berkaca-kaca saat menceritakan percakapan antara Farhana dengan istri Wafi tersebut.

"Bu, jangan mengada-ada kamu. Masa iya Mbak Hana bicara seperti itu?"

"Jadi Bapak pikir aku ngarang to, Pak? Buat apa aku memfitnah Mbak Hana, nggak ada untungnya," balas sang istri ketus.

"Aku nggak tega sama Mbak Nina. Dia itu orang baik. Baik banget malah. Nggak salah kalau Umi Hadijah memilihnya untuk jadi menantu. Terlepas dari masa lalunya, Mbak Nina orang baik!"

Sejenak hening. Pak Joko masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Meski begitu dia tahu jika istri kedua Wafi itu orang yang baik.

"Mbak Hana mengancamnya, Pak. Nggak ada pilihan lain buat Mbak Nina selain menurut apa perintah kakak iparnya."

Joko menegakkan badannya.

"Lalu kamu akan menceritakan hal ini ke Mbak Nina? Kamu mau bilang kalau kamu mendengar apa yang mereka bicarakan waktu itu?"

Istrinya menggeleng pelan.

"Aku nggak berani ikut campur, Pak. Tapi aku nggak tega ada orang sebaik Mbak Nina dizalimi begitu. Mbak Nina itu nggak salah, dia hanya mengikuti apa yang sudah jadi takdirnya."

Menarik napas dalam-dalam, Joko mengusap punggung istrinya.

"Ya sudah, kita doakan saja semoga Mbak Nina diberikan yang terbaik oleh Allah, sehingga bisa melalui ini semua dengan baik."

"Aku nggak tega, Pak. Mbak Nina itu beberapa kali kulihat menangis setelah salat. Dia pernah bilang kalau rindu pada ayahnya yang sudah tiada. Dia itu sebatang kara, Pak."

"Bu, kamu, kan yang dekat dengan dia, ada baiknya dihibur kalau lagi sedih, sebatas itu saja.  Kita ini orang luar, jangan bicara jika tidak diminta."

"Iya, Pak."

**

Seperti biasa, disepertiga malam, Karenina luruh dalam doa. Bermunajat dengan segenap penghambatan. Saat-saat itu adalah saat yang paling dia sukai karena dirinya bebas mengungkapkan apa yang mengganggu pikiran dan apa yang menjadi harapnya.

"Ya Allah, aku tahu ini semua terjadi karena Engkau yang menghendaki. Aku sangat paham jika Engkau tidak akan meletakkan ini semua jika aku tidak sanggup memikulnya. Aku hanya minta jangan pernah tinggalkan aku dalam kondisi apa pun. Aku tak lagi berharap pada Mas Wafi atau siapa pun agar bisa menerimaku, aku cuma butuh Engkau dan akan selalu berlapang dada menerima setiap takdir-Mu."

**


Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang