Menikahi Luka 47

1.7K 166 9
                                    

Farhana menatap tajam pada adik iparnya. Semua kekesalan dia tumpahkan pada Karenina. Tak ada balasan atau jawaban yang keluar dari bibir perempuan berkulit putih itu. Karenina hanya sesekali mengangguk sembari memegang perutnya.

"Aku heran! Kenapa kamu seperti menikmati semua ini. Kamu tahu, 'kan alasan aku dengan semua yang sudah kuperintahkan ke kamu?"

Karenina menarik napas dalam-dalam. Dia masih bungkam.

"Kamu memang tidak bisa dipercaya, Nina! Pembohong! Kamu bicara padaku seolah menyanggupi, tapi ternyata kamu pengkhianat!"

Hana masih menatap Karenina dengan tatapan menusuk. Kemarahannya masih menggelegak.

"Oh iya! Aku dengar dari Wafi kalau papamu adalah seorang dermawan dan banyak menyumbang untuk pesantren ini." Hana menyeringai. "Aku nggak peduli siapa papamu, toh dia sudah tidak ada lagi di dunia! Yang aku harus pikirkan adalah kamu lengkap dengan masa lalumu!"

"Mbak Hana!"

"Bagaimana mungkin perempuan malam bisa melahirkan keturunan yang baik? Oke, aku tahu semuanya berproses, tapi dengan kebohonganmu padaku ini sudah cukup membuktikan kalau kamu memang benar-benar tidak pantas untuk menjadi istri seorang pemimpin pesantren, terlebih anak yang ada di rahimmu itu! Sangat tidak layak!" Suara Hana semakin meninggi. Matanya memindai Karenina seolah hendak menelannya hidup-hidup.

"Mbak Hana, cukup! Berhenti menyudutkan saya. Saya sadar, Mbak. Saya memang bukan siapa-siapa, dan apa yang dilakukan papa saya adalah kebaikan dan hak papa saya. Saya sama sekali tidak ada di dalamnya. Tapi saya juga punya kewajiban sebagai seorang istri, dan itu mutlak perintah dari Allah."

Karenina memberanikan diri menatap Hana.

"Saya hanya takut akan murka Allah, Mbak. Saya takut mendapatkan murka-Nya jika saya melakukan apa yang Mbak perintah. Saya, Mbak Hana, kita semua adalah makhluk Allah yang harus patuh dan tunduk pada semua apa yang diperintahkan."

"Berhenti mengajari aku tentang apa yang barusan kamu ucap tadi! Aku tahu itu! Tapi aku juga berhak melindungi keluargaku dari perempuan bertopeng sepertimu! Perempuan pembohong sepertimu!"

Karenina bangkit dari duduk, dia sudah tidak lagi bisa untuk terus menerus diam. Terlebih sebaik dan sekeras apa pun dia berusaha, tetap saja Hana memperlakukannya seolah dirinya seorang najis yang pantas untuk dilenyapkan.

"Baik, Mbak. Saya memang berbohong, saya memang pembohong. Saya perempuan munafik itu benar! Sekarang Mbak mau saya melakukan apa? Katakan, Mbak."

"Katakan saja, apa yang harus saya lakukan asal setelah ini Mbak tidak menggangu saya lagi."

Menyeringai, Hana ikut bangkit.

"Tinggalkan Wafi! Pergi dari kehidupannya untuk selamanya! Kalau kamu masih mau anak yang di rahimmu itu selamat!"

"Astaghfirullah, Mbak Hana. Nyebut, Mbak. Maafkan saya, tapi Mbak Hana ini sudah keterlaluan. Apa sebenarnya salah Mbak Nina? Mbak ingat, Mbak. Mbak sudah berbuat zalim dengan memperlakukan ...."

"Diam, Bu Joko! Sejak kapan kamu saya izinkan ada di tempat ini? Sejak kapan kamu diperbolehkan mencuri dengar obrolan majikanmu? Atau jangan-jangan kamu memang disuruh seperti itu?" Hana memotong kalimat perempuan paruh baya itu.

"Mbak Hana, sudah! Jangan ikutkan Bu Joko." Nina memejamkan mata sejenak lalu berkata, "Baik. Saya akan pergi. Saya akan pergi, tapi bukan karena perintah dari Mbak. Saya pergi untuk diri saya dan Mas Wafi."

"Bagus! Sebaiknya kamu pergi ke tempat di mana Wafi tidak pernah bisa melacak keberadaanmu!"

Karenina mengangguk samar. Pergi. Memang dia harus meninggalkan keluarga sang suami yang telah begitu baik padanya.

"Ah iya, satu lagi yang harus kamu tahu."

Hana melangkah mendekat.

"Jangan pernah berpikir kalau Wafi sudah jatuh cinta padamu. Karena yang aku tahu dia tidak pernah melibatkan perasaan itu pada saat bersamamu. Dia hanya ...."

"Mbak Hana! Cukup!" Suara bariton terdengar di pintu masuk.

Suara yang membuat semua yang ada di ruangan menoleh ke titik yang sama. Wafi menghampiri Karenina kalau memeluknya erat dengan tatapan mata menusuk kepada Farhana.

"Jadi begini kelakuanmu, Mbak Hana? Jadi begini cara Mbak memperlakukan istriku?"

Hana menyeringai sembari melipat kedua tangannya.

"Kenapa? Apa itu salah? Dia yang menyebabkan kerusuhan di keluarga kita. Dia juga yang membuat nama pesantren abi kita jadi jelek. Perempuan ini seharusnya memang tidak pernah ada di keluarga kita, Wafi! Seharusnya kamu sadar!"

"Diam, Mbak! Semua yang Mbak katakan itu seharusnya untuk Mbak Hana sendiri! Bukan Aisyah! Aku malu, Mbak! Malu punya Mbak yang berkelakuan seperti ini. Aku sama sekali tidak pernah menyangka jika Mbak Hana sudah berbuat di luar batas!"

Seperti kesetanan, Farhana terbahak.

"Di luar batas? Siapa yang di luar batas, hah! Coba kamu lihat dan cermati siapa Karenina itu. Buka matamu! Jangan hanya karena dia terlihat hijrah lalu kamu menutup mata dan telinga, latar belakangnya, Wafi! Sadar!"

"Mbak Hana cukup! Pergi sekarang! Pergi keluar dari sini! Pergi!" sentak Wafi dengan air muka memerah dan rahang mengeras.

"Nina! Ingat apa yang aku katakan!" Hana berucap ketus lalu melangkah menuju pintu meninggalkan rumah Karenina.

Sepeninggal Farhana, Wafi mengajak sang istri duduk. Dia kalau memerintah kepada Bu Joko untuk membuat minuman hangat untuk Karenina.

"Nina ... maafkan aku. Maafkan aku datang terlambat. Aku ...."

"Saya nggak apa-apa, Mas. Saya baik-baik saja. Bagaimana kabar Mbak Mutia? Apa Mbak Mutia dan bayinya ...."

"Baik, semua baik-baik saja. Kamu yang sekarang harus cek ke dokter untuk tahu bagaimana kondisimu."

Wafi terlihat cemas. Dia mengusap perut sang istri dengan lembut.

"Sudah saya bilang, Mas. Saya baik. Mas nggak perlu khawatir," tuturnya mencoba meredakan kecemasan sang suami.

Sikap tenang Karenina justru makin membuat Wafi khawatir. Terlebih setelah tahu dengan jelas perlakuan sang kakak terhadap istrinya. Tak lama muncul Bu Joko membawa nampan berisi lemon hangat campur madu kesukaan Karenina.

Paras khawatir juga tercetak pada mimik muka khadimat itu.

"Ada apa, Bu Joko?" Wafi menatap perempuan paruh baya di depannya.

"Maaf, Mas Wafi, kalau boleh, saya ingin memberi saran buat Mas Wafi," tuturnya sopan.

Sejenak Wafi menatap Karenina yang baru saja menyesap lemon hangatnya.

"Saran apa, Bu? Katakan saja." Wafi mempersilakan Bu Joko untuk duduk.

Menarik napas dalam-dalam, perempuan berjilbab hitam itu bercerita tentang keresahannya terhadap perlakuan Farhana kepada Karenina. Semuanya diungkapkan oleh Bu Joko.

"Maafkan saya, Mbak Nina. Terpaksa saya mengatakan semuanya ke Mas Wafi. Karena ini menurut saya sudah keterlaluan."

Karenina hanya menunduk dengan menautkan jemarinya.

"Saya khawatir dengan Mbak Nina, terlebih saat ini Mbak Nina sedang mengandung, Mas," imbuhnya.

Wafi menoleh menatap sang istri. Kali ini kedua mata pria berparas tampan itu terlihat berkaca-kaca. Lembut dia meraih bahu sang istri dan menenggelamkan kepala Karenina ke dadanya.

***

Semoga masih bisa dinikmati.

Terima kasih sudah berkunjung 🫰



Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang