Duduk bersama dengan para perempuan yang menutup auratnya adalah pengalaman baru bagi Karenina.
Meski dirinya sangat canggung, karena memakai pakaian yang sama sekali baru baginya, tetapi berkat si kecil Nida dan Sofia ibunya, Karenina merasa nyaman.
Sepanjang acara berlangsung, semua diam mendengarkan ucapan yang keluar dari seorang ustazah paruh baya. Karenina menyipitkan matanya mencoba mengingat perempuan yang dipanggil ustazah oleh semua yang hadir di tempat itu.
"Dia seperti ibu yang meminta maaf saat mobilnya hampir menabrakku," gumamnya lirih.
Karenina kalau menoleh, dia terkesima mendengar bacaan Al-Qur'an yang dilantunkan oleh Sofia. Perempuan berwajah ramah itu sangat santun pada siapa pun. Memiliki dua anak yang lucu menjadikan Karenina yakin jika keluarga ini sangat harmonis.
Sebenarnya ada hal yang mengusik hatinya, karena selama ini dirinya tidak pernah melihat ayah Nida. Hampir dua bulan dia tinggal di tempat itu, tidak sekali pun dia melihat sosok laki-laki di rumah itu.
Sofia sendiri adalah pengusaha katering kecil-kecilan. Meski begitu, sudah banyak pelanggan yang mempercayakan jasanya untuk mengisi menu di acara apa pun.
Selintas Karenina mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Tidak ada satu pun foto keluarga di rumah itu. Hal itu tentu menjadi pertanyaan baginya meski dia tak berani mengatakan.
Acara tausiyah selesai, lalu dilanjutkan dengan sesi tanya jawab.
"Nina mungkin ada yang ingin ditanyakan?" Sofia menoleh dengan senyum ramah.
Rasa sungkan menjalar, dia tak berani bertanya meski ribuan kata sudah tersusun rapi di kepalanya.
"Nggak, Mbak Sofi," sahutnya kikuk.
Perempuan berjilbab hitam itu menarik bibirnya.
"Nanti kalau acara selesai, kamu boleh bertanya apa saja. Beliau ibuku, insyaallah malam ini beliau akan menginap di sini. Mungkin kamu ingin berdialog dengan beliau," bisiknya.
Karenina mengangguk, dia tak menyangka jika perempuan yang berbicara tegas dan lugas di hadapan jamaah pengajian itu adalah nenek dari Nida.
Acara berlangsung lancar hingga usai. Di tempat itu Karenina merasa begitu dihargai. Tak ada sekat antara dirinya yang mungkin dipandang sebelah mata dengan para jamaah yang hadir. Semua menyambut uluran tangannya dan memeluk hangat.
Ada rasa nyaman yang berbeda berada ditengah-tengah mereka. Rasa nyaman yang tak pernah dia rasakan sebelumnya dengan siapa pun.
"Karenina, kenalkan ini ibuku, kami anaknya biasa memanggil beliau dengan sebutan Umi, nah Umi, ini Karenina, yang pernah Sofia ceritakan waktu itu. Dia yang sering direcokin sama Nida. Maafkan anak saya ya, Nin." Sofia menatapnya dengan wajah ramah.
Karenina mengulurkan tangan dan mencium punggung tangan Hadijah.
"Sebentar, kamu ... sepertinya saya pernah lihat, tapi ...."
Karenina menggeleng, dia khawatir jika sampai perempuan di depannya tahu siapa dirinya. Karena saat itu pakaian yang dia kenakan sangat jauh dari menutup aurat.
"Umi, mungkin Umi salah lihat, karena Nina ini tinggal di sini baru dua bulan, emang Umi lihat di mana?" Sofia menengahi.
Hadijah mengangguk, meski dia mulai mengingat siapa sosok perempuan yang membuat cucunya jatuh hati itu.
"Ayo duduk di sana, Nin. Kamu bilang tadi mau bertanya banyak ke Umi." Sofia mengajak mereka duduk di ruang tengah.
"Kalau Umi nggak sibuk dan nggak mengganggu," tutur Karenina segan.
"Nggak, kalau sambil duduk pasti nggak sibuk dan nggak mengganggu. Ayo kita duduk di sana!" Hadijah melangkah mendahului Karenina. Sementara tawa Nida terdengar tengah bermain dengan Fahmi kakaknya.
Kembali dia merasa canggung, karena biar bagaimanapun dia tengah berada di tempat yang tak biasa dan duduk bersama dengan orang-orang yang selama ini hanya bisa dia lihat dari kejauhan.
"Jadi apa yang ingin kamu tanyakan, Karenina?"
Cerita mengalir dari mulut Karenina, satu satu kisah hidupnya dia ungkapkan tanpa ada satu pun yang dia tutupi. Entah kenapa dia begitu tenang tanpa merasa ada beban saat bercerita tentang dirinya.
Air mata mengalir begitu saja tanpa bisa ditahan. Karenina seolah menemukan seorang ibu yang telah lama dia inginkan. Seolah tahu apa yang di hati Karenina, Hadijah meraih bahu perempuan berkulit putih di sebelahnya itu lalu merengkuh perlahan.
Ada rasa pilu yang bisa dirasakan oleh Hadijah. Dia pun seorang ibu, dan bisa merasakan bagaimana jika putrinya bekerja menjual tubuhnya ke pria hidung belang.
"Apa dosa saya akan diampuni, Umi?" tanyanya dengan suara bergetar. "Sementara saya tidak pernah salat, saya juga tidak pernah mengaji, saya melayani pria-pria itu, dan saya tidak pernah menutup aurat. Apakah Allah masih mau menerima saya dan mengampuni saya, Umi?" imbuhnya kali ini dengan napas putus-putus karena menahan isak.
Hadijah mengusap punggung Karenina. Perempuan itu lalu mengurai pelukan.
"Nina, Allah memang membenci perbuatan dosa, tetapi Allah tidak membenci pendosa yang mau bertobat," tuturnya lembut. "Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya, Nina. Dia itu maha mengasihi dan maha menyanyangi."
Karenina tergugu, dia merasa begitu banyak waktu yang sudah dia buang sia-sia hanya untuk mengejar kepuasan dunia. Bahkan hingga kini masih sering terbesit untuk datang ke rumahnya yang kini ditinggali oleh ibu dan saudara tirinya. Belum lagi aset perusahaan yang dirampas oleh mereka. Semua itu membuat dia menyimpan dendam dan berniat ingin membalas.
"Umi tahu kamu sakit hati, kamu menyimpan dendam, tapi untuk apa? Untuk kembali mengambil hakmu? Lalu sesudah itu apa? Apa kamu yakin kamu bahagia?"
"Belajarlah untuk ikhlas, Nina. Belajarlah untuk menyerahkan semuanya kepada Allah. Karena Allah yang menghadirkan semua pelikmu itu, maka biarkan Allah pula yang mengurainya. Kamu harus yakin Allah ada, Allah bersamamu selama kamu mendekat pada-Nya."
Air matanya semakin berderai, Karenina merasa sangat bersalah selama ini mengabaikan Allah. Dia bahkan merasa Allah sudah tidak adil padanya dengan memberi hidup yang demikian sulit.
"Apa yang harus saya lakukan sekarang, Umi?"
"Bertaubatlah, memohon ampun dengan segenap penghambaan. Kembalikan semuanya pada Allah."
"Tapi ...."
"Tapi apa?"
"Saya takut orang-orang tidak menerima saya."
"Orang-orang mana yang tidak menerimamu?" Hadijah memindai Karenina.
Perlahan dia mengangkat wajahnya menatap Hadijah.
"Masa lalu saya yang mungkin sebagian orang akan menghujat dan ...."
"Nina, mereka itu ujian buat kamu. Yang tahu hatimu adalah dirimu sendiri. Yang tahu kondisimu adalah kamu, bukan orang lain. Kalau kamu hijrah karena Allah, maka seperti yang Umi bilang tadi, biarkan Allah yang akan menjawabnya. Kamu nggak perlu repot menjelaskan kepada orang banyak atas perubahanmu sekarang," jelas Hadijah sembari mengusap lengan Karenina.
"Satu yang Umi salut padamu, meski kerasnya godaan di tempat kerjamu, kamu tetap menjaga untuk tidak melakukan apa yang memang tidak selayaknya dilakukan."
Karenina tersenyum tipis lalu mengangguk. Dia memang tak ingin satu-satunya yang dia miliki ikut berantakan karena kisah hidupnya yang telah hancur.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...