"Kamu mau punya uang, kan?" Sheila menelisik rekannya yang terlihat kacau.
"Iya, Sheil, tapi aku nggak mau di ...."
"Digrepe- grepe? Nggak mau dipegang-pegang?" potong Sheila sembari membuang napas kasar.
Tiga hari sudah Karen tinggal di apartemen Sheila. Awalnya dia mengira Sheila kerja seperti layaknya orang bekerja, tetapi dia keliru. Apa yang terlihat sangat jauh dari apa yang dia pikir.
"Ini kerjaanku, Karen. Kita nggak melacurkan diri, tapi kita bekerja supaya bisa melanjutkan hidup seperti apa yang kita mau. Kamu nggak mau dilecehkan ibu dan saudara tirimu, kan?"
Tak menjawab, Karen hanya membalas tatapan Sheila.
"Lagian, cuma pegang-pegang apa salahnya? Nih aku kasi tahu ya, kita bisa lebih banyak dapat duit kalau kita membiarkan pengunjung menikmati apa yang kita punya! Kalau kamu nggak mau diajak tidur itu pilihan, kok. Nggak maksa!"
Sheila tersenyum lebar, perempuan di depannya itu terlihat sangat berbeda ketika tengah kuliah dan bekerja.
"Percayalah, Karen, di dunia yang selintas terlihat baik-baik saja ini sebenarnya sudah tidak ada lagi aturan baku untuk menghargai apa yang disebut harga diri!" Perempuan yang mengecat rambutnya dengan warna keemasan itu duduk di depan meja rias sembari memoles wajahnya.
"Apa orang tuamu tahu, Sheila?" Karenina menatap rekannya. Sependek yang dia tahu, Sheila berangkat dari keluarga baik-baik, meski perekonomian keluarganya tidak begitu baik, tetapi mujur baginya ayah ibunya bisa membuat dia sekolah hingga universitas. Akan tetapi, kenapa dia menyia-nyiakan apa yang dia miliki saat ini?
Terdengar tawa darinya, sambil menggeleng dia menjawab, "Mereka nggak tahu, yang mereka tahu aku sudah diterima kerja di sebuah perusahaan swasta, dan mereka percaya. Itu aja!" Dia kembali menebali wajah cantiknya dengan bedak.
"Sudah waktunya aku berangkat, kalau kamu berubah pikiran, kamu bisa susul aku di alamat yang tadi kukasi." Sheila menyambar tas tangannya lalu membalikkan badan. "Oh iya, malam ini aku nggak pulang, ada orang tajir yang ngajak aku. Kita udah janjian. Bye, Karen!"
Karenina bergeming menatap kepergian Sheila. Setelah rekannya itu menutup pintu, dia kembali membuka ponsel. Tak ada seorang pun yang mencarinya, gak ada seorang pun yang bertanya di mana dirinya saat ini.
Benar kata Sheila saat pertama kali dia berada di apartemennya. Orang akan menyanjung kita saat kita punya uang banyak dan segala kemewahan, tetapi orang akan berpura-pura tidak kenal saat kita jatuh.
"Mereka akan membuang muka, bukan hanya berpura-pura nggak kenal, mereka bahkan bisa meludahi kita. Kamu tahu, Karenina? Kita ini semua hidup dalam kepalsuan! Mereka semua yang dulu baik itu cuma topeng!"
Sheila memang berangkat dari keluarga baik-baik, tetapi kehidupan cintanya hancur karena ditinggal kekasih saat dia hamil. Kebingungan yang mendera saat itu membuat dirinya mengambil jalan pintas untuk menggugurkan kandungannya. Itulah titik balik Sheila berpetualang dengan banyak lelaki.
"Percayalah, Karen, dunia ini nggak semulus apa yang ada di kepalamu. Bergerak sekarang, atau kamu akan jadi gembel selamanya!"
Ucapan-ucapan Sheila memenuhi kepalanya. Karenina membuka dompetnya, tak ada lembaran merah yang berjejer penuh di sana. Hanya tersisa sedikit, sementara tabungan dia di bank pun tidak bisa menolong hidupnya lebih lama.
Menarik napas dalam-dalam, dia kemudian bangkit setelah membaca alamat tempat Sheila bekerja.
"Ingat, kita bukan melacurkan diri, kita bekerja sebagai LC, Ladies Companion. Tugas kita mendampingi tamu atau untuk menemani dan menghibur tamu karaoke. Kalau mau lebih ... semua bisa dibicarakan!" Kembali suara Sheila mengiang di telinganya.
**
Karenina tak lagi memikirkan tentang harga diri. Dia setuju dengan saran dan ucapan Sheila. Baginya yang dia butuhkan saat ini adalah bagaimana bisa mendapatkan yang yang banyak sehingga bisa kembali mendapatkan kehidupan yang dulu dia rasakan.
Tidak sulit menjadi perempuan yang menemani tamu di karaoke, terlebih dengan postur dan wajahnya yang tentu saja menjual. Ternyata Sheila tidak salah, dia bisa dengan cepat mendapatkan klien meski dia baru pertama kali. Meskipun dia juga harus menahan diri untuk berontak ketika tamunya pria yang sudah tak lagi muda.
Pernah suatu ketika dia mengeluh pada Sheila tentang pria tua yang masih aktif datang ke karaoke. Dengan enteng dia mengatakan jika uang bisa membeli apa pun. Termasuk kesenangan bersama perempuan-perempuan seperti dia.
"Yang penting tajir, Karen! Tips buat kamu gede juga, kan?"
Karenina mengangguk. Tentu saja besar, bahkan dia tidak perlu susah-susah meminta. Cukup duduk dan memberikan apa yang mereka mau, uang pun akan cepat berpindah ke dompetnya.
"Layani saja mereka dengan baik. Karena mereka datang untuk menghilangkan stress, jadi beri pelayanan yang paling baik seperti yang mereka minta," tutur Sheila saat mereka berdua sedang makan siang.
Sudah hampir lima bulan Sheila tak lagi kuliah, meski saat menerima telepon, rekannya itu selalu membicarakan jika dirinya sibuk bekerja dan menyelesaikan tugas kampus.
Sementara dirinya, tentu tidak lebih baik dari Sheila. Dia pun sudah tak lagi mendatangi Unversitas bergengsi tempat dia menimba ilmu. Di otaknya kini hanya bagaimana dia bisa mendapatkan kembali apa yang pernah dirampas ibu dan saudara tirinya.
"Aku ingin membalaskan rasa sakit hatiku ke mereka, Sheila." Karenina mengepalkan tangannya di atas meja. Perempuan berdagu lancip itu terlihat memendam amarah yang mendalam.
"Aku tahu, tapi itu artinya kamu harus bekerja lebih keras lagi, Karen."
Dia menoleh menatap Sheila.
"Kamu pernah diajak tidur oleh pelanggan?" tanyanya tanpa tedeng aling-aling.
Karenina menggeleng cepat. Bukan tidak pernah, Hanya saja dia takut. Takut terkena penyakit kelamin yang tentu saja memiliki dampak yang mengerikan.
"Aku takut."
Sheila tertawa kecil. Dia paham ketakutan rekannya. Namun, rupanya dia tahu bagaimana cara mengajak pelanggan agar mau diajak aman.
"Ya ajakin ngobrol aja dulu, setelah itu baru deh kamu bisa ajak mereka untuk main sehat." Sheila mengangkat kedua tangan sembari memainkan jari telunjuk dan jari tengah saat mengucapkan main sehat.
Karenina menarik napas dalam-dalam.
"Ya itu terserah kamu, seenggaknya aku bisa dapat mobil yang sekarang itu karena tips dan pelayanan aku ke pelanggan," tuturnya lagi.
"Kamu tahu, Karen? Dalam waktu dekat ini aku bakal punya villa di Bali!" ujarnya sembari memekik kegirangan.
"Villa?"
"Iya."
"Kamu tahu Om Bram yang sering ajak aku?"
Karenina mengangguk.
"Dia itu mau nikahin aku dan aku disuruh tinggal di Bali. Di villa yang bakal dia beli untuk aku!"
"Nanti kalau aku udah pindah ke Bali, apartemen ini bisa kamu pakai. Untuk sewanya aku udah lunasi sampai delapan bulan ke depan. Jadi aman! Sementara kamu bisa kerja untuk mencapai apa yang kamu inginkan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...