Wajah perempuan paruh baya yang biasanya terlihat ramah itu seketika memerah. Kerutan di dahinya semakin banyak, matanya tampak berkilat menatap Farhana.
Seperti yang di katakan Wafi kepada Karenina, setelah mengecek proses belajar mengajar di pesantren dia pamit ke istrinya untuk menemui Hadijah.
"Umi tidak pernah menyangka ternyata hatimu sebusuk itu, Hana! Apa yang ada di otakmu hingga melakukan perbuatan hina, apa!"
Paras kecewa tampak jelas tercetak di wajah Hadijah. Bibirnya tak henti beristighfar mencoba menahan perasaan yang meradang.
"Abi tidak pernah mengajarimu hal yang buruk, Umi pun begitu! Kamu tahu apa yang kamu lakukan ini sangat menyakiti hati Umi dan juga Abi yang sudah di alam sana!" Intonasinya masih tinggi dan suara Hadijah terdengar bergetar.
Hana menatap tajam ke Wafi. Tak menyangka jika akhirnya adiknya tahu soal ini. Padahal dia sudah begitu mempercayai janji Karenina yang dia minta untuk tutup mulut.
"Wafi, berapa lamanya kamu kenal Nina? Dan berapa lama kamu hidup dan mengenal Mbak Hana? Lalu kamu percaya begitu saja atas apa yang dia katakan?"
"Mbak Hana, Aisyah istriku, dan aku percaya padanya. Kenapa aku bicara begini? Karena Mbak Hana memang sudah menunjukkan rasa tidak suka pada Nina sejak awal. Mbak tahu? Jika aku tidak menemukan obat itu, mungkin aku tidak akan pernah tahu karena Aisyah tidak pernah bercerita apa pun tentang Mbak Hana!"
"Ternyata luar biasa besarnya pengaruh perempuan itu padamu, Wafi! Sehingga kamu sama sekali tidak bisa membedakan di mana seharusnya kamu berpihak!"
"Farhana!" sentak Hadijah. "Ini bukan masalah keberpihakan, tetapi masalah hati nurani dan adab!"
"Jadi Umi mau bilang kalau Hana nggak punya adab?"
"Farhana, coba cermati kalimat Umi, berhenti bersikap egois dan menganggap dirimu paling benar!"
Seolah tak mendengar penuturan uminya, Farhana menatap Wafi tajam.
"Coba pikirkan dengan otak yang jernih, Wafi. Apakah kamu rela punya anak dari seorang perempuan penghibur yang tidak jelas asal-usulnya?"
"Cukup, Mbak Hana! Cukup!" sergahnya. Kali ini paras Wafi memerah, tangannya mengepal kuat dengan rahang ikut mengeras. "Mbak tahu siapa Karenina Aisyah? Siapa papanya?"
Farhana diam, sementara Hadijah menatap putranya penuh tanya.
"Umi, papanya Aisyah ternyata donatur tetap terbesar untuk pesantren kita sejak Abi masih memegang kendali Al-Hilal," tutur Wafi. "Beliau setiap bulannya selalu setor dengan jumlah yang tidak sedikit!"
"Masyaallah, jadi benar dugaan Umi selama ini?"
"Umi sudah tahu?" tanya Wafi.
Hadijah lalu menceritakan perihal papa Karenina yang pernah diceritakan oleh almarhum abi Wafi. Agung Wicaksana adalah orang kaya yang terkenal dermawan. Dia seperti tidak pernah menghitung berapa uang yang disumbangkan untuk Pesantren Al-Hilal.
"Saat Nina menyebutkan nama papanya, Umi tidak berani menebak, karena ada banyak nama yang bisa saja sama, tetapi akhirnya Allah menuntunmu agar kamulah orang pertama yang tahu."
Wafi tersenyum lebar, dia kemudian mengalihkan pandangan ke Farhana.
"Mbak, bisa saja Aisyah itu mengadukan ke aku tentang ulah Mbak padanya, tapi dia memilih diam. Karena apa? Bukan karena dia takut sama ancaman Mbak, tapi dia tidak ingin keluarga ini terpecah hanya karena dia. Dia tidak ingin Umi jadi kepikiran karena masalah ini!"
"Sebaik dan seluas itu hati Aisyah yang Mbak nilai buruk. Dia baik, Mbak. Sementara Mbak? Mbak nggak malu padanya? Pada Aisyah yang memilih menahan perasaannya demi orang-orang yang dia hormati? Termasuk Mbak juga aku! Aisyah bilang, dia tak ingin kita bersaudara ini jadi pecah! Cukup, Mbak!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...