Karenina cepat menarik tangannya dari perut Mutia. Tenggorokannya mendadak kering mendengar penuturan kakak madunya. Bagaimana mungkin Mutia bisa tahu? Sementara Wafi setuju dengan alasan dia untuk menyimpan kabar gembira ini terlebih dahulu."Nina? Kenapa? Benar, 'kan apa yang aku bilang barusan?"
"Apa Mas Wafi tahu soal ini?" Dia kembali bertanya.
Karenina masih bungkam.
"Selamat ya, Nin. Semoga semuanya diberikan kelancaran." Jujur aku kaget saat mendengar kabar ini, tapi aku ingat, kabar ini juga, 'kan yang aku tunggu? Karena alasan anak juga aku memilihmu untuk jadi istri Mas Wafi."
Sejenak ruangan itu sepi. Karenina memastikan jika Farhana yang memberikan kabar ini kepada Mutia. Kakak iparnya itu memang seolah benar-benar selalu ingin menabuh genderang perang dengannya.
"Kenapa kamu nggak kasi tahu aku?"
"Maaf, Mbak, bukan nggak kasi tahu, tapi saya ingin menundanya sampai Mbak melahirkan." Karenina akhirnya buka suara.
"Menunda? Kenapa?"
"Saya ... saya nggak mau Mbak jadi nggak fokus mempersiapkan kelahiran yang sebentar lagi. Dan lagi ... saya juga nggak mau perhatian keluarga besar terpecah karena kehamilan ini."
Mutia menarik napas dalam-dalam. Adik iparnya itu benar. Jika boleh jujur, sebenarnya dia sedikit terganggu dengan kabar yang menurutnya tiba-tiba itu.
Selain karena memang dia ingin tenang, Mutia pun ingin keluarga besar ikut menyambut calon anak pertamanya itu. Sebagai perempuan yang sudah demikian lama menanti kehadiran seorang anak, tentu ada sebuah kebanggan tersendiri jika saat persalinan nanti semua orang yang dia sayangi turut mendampingi.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi. Apa Mas Wafi tahu kamu hamil?"
"Mas Wafi tahu, Mbak," jawabnya lirih.
"Tahu? Jadi Mas Wafi tahu? Lalu kenapa aku baru tahu? Bahkan aku tahu dari orang lain!" Mutia tampak kesal.
"Maaf, Mbak, tapi Mas Wafi memang saya minta untuk menyimpannya dulu, bahkan Umi pun kami belum kabari soal ini," terangnya.
"Saya ingin semua fokus ke Mbak, nanti setelah masa persalinan selesai, barulah kabar ini kami umumkan." Karenina tersenyum lebar, berharap Mutia bisa menerima alasannya.
Mengangguk paham, Mutia tersenyum tipis.
"Oke, aku mengerti. Terima kasih sudah menjadi adik yang baik, adik yang paham dan tahu apa yang harus dilakukan."
Karenina menghela napas lega. Dia tampak bersyukur akhirnya Mutia bisa memaklumi dan paham alasannya.
"Mbak Mutia tahu dari mana kalau saya hamil?"
Sejenak dia diam menatap Karenina.
"Mbak Hana yang ngasi aku kabar."
Karenina mengangguk samar.
"Tapi saya maupun Mas Wafi tidak membicarakan hal ini ke Mbak Hana," tuturnya lirih. "Meski pada akhirnya nanti kondisi saya akan diketahui, tetapi saya benar-benar ingin menyimpannya dulu, Mbak."
Mutia membenarkan letak duduknya. Perutnya yang semakin besar memang sedikit banyak menghalangi aktivitasnya meski sedang duduk sekali pun.
"Sudahlah, nggak penting dari mana Mbak Hana tahu," ujarnya, "Yang penting aku tahu dan kamu paham seperti apa keadaan kita."
Kakak madunya itu menarik napas dalam-dalam.
"Mbak Hana itu sebenarnya baik, tapi masa lalunya yang membuat dirinya seperti itu, jadi kamu harus betul-betul bisa memahami apa pun yang dia lakukan atau katakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...