Menikahi Luka 36

1.8K 196 23
                                    

Menjawab salam, Karenina mencium punggung tangan Wafi. Pria itu terlihat lelah saat tiba di kediamannya. Dia maklum karena sang suami harus memberikan perhatian ekstra ketat kepada Mutia.

"Maafkan saya, Mas. Tadinya saya pikir Mas tiba di sini sore, karena biasanya ...."

"Hari ini Mutia pergi ke rumah orang tuanya, lagipula dia sudah semakin stabil kondisinya. Jadi kupikir ... nggak ada salahnya aku ke sini siang, sebab selepas Asar nanti ada urusan dengan beberapa pengurus pondok," jelasnya sembari menghenyakkan tubuh di sofa.

"Syukurlah kalau Mbak Mutia sudah semakin membaik," ungkapnya dengan mengulas senyum. "Mas mau saya buatkan teh atau ...."

"Nggak usah. Air putih aja," potongnya.

"Baik, tunggu sebentar ya, Mas."

Wafi mengangguk, manik matanya mengikuti langkah sang istri. Karenina, istri keduanya itu selalu bisa meninggalkan jejak yang baik di kepalanya.

Dia memang datang belakangan, Karenina memang tidak muncul karena perasaan cinta, tetapi perempuan berkulit putih itu mampu mengubah persepsinya tentang perempuan modern yang kini harus berdiam diri di rumah. Karenina mampu menunjukkan bakti terhadap suami dan keluarga besarnya. Dia pun bisa menahan diri untuk tidak meladeni sikap ketus sang kakak soal masa lalunya.

Wafi tahu Karenina bekerja keras untuk itu semua. Dia benar-benar ingin membuktikan jika dirinya tidak akan membuat kecewa orang-orang yang menaruh harapan besar padanya.

Kini, saat Wafi sudah merasa mulai jatuh hati, muncul hal lain yang lebih menjadi pusat perhatiannya. Diakui atau tidak, kebahagiaan akan memiliki seorang anak adalah anugerah terbaik yang dia rasakan.

Bayi yang dikandung Mutia tak bisa dipungkiri adalah pusat dari hidupnya saat ini. Semua orang tahu seperti apa dia dan Mutia berusaha agar calon penerus itu muncul di tengah-tengah mereka.

"Mas Wafi? Mas kenapa? Kok melamun?" Sentuhan pelan tangan Karenina di bahunya membuat Wafi menoleh. "Diminum dulu." Dia menyodorkan segelas air putih.

"Terima kasih ya."

"Terima kasih? Ini cuma air putih, Mas."

Menggeleng, Wafi tertawa kecil.

"Terima kasih untuk semua yang kamu berikan padaku, Mutia juga keluargaku," ungkapnya.

Karenina mengangguk.

"Sudah seharusnya saya melakukan itu, Mas." Dia menautkan jemari seperti tengah menguatkan diri sendiri.

Lembut Wafi meraih tangan istrinya.

"Aku tahu menjadi kamu bukan hal yang mudah, tapi aku bangga memilikimu, Aisyah."

Mendengar pengakuan sang suami, membuat semburat merah muncul di parasnya. Ada kebahagiaan yang menyeruak bersama rasa hangat akan kasih sayang di muncul di setiap sentuhan Wafi. Setidaknya itulah yang dia rasakan.

Siapa pun pasti tahu bagaimana rasanya menjadi pasangan baru sebagai suami istri. Rasa ingin berdua memang sudah selayaknya, tetapi keadaan yang membuatnya harus berpikir dan menyingkirkan ego itu jauh-jauh meski pada awalnya tujuan mereka menikah adalah agar segera memiliki keturunan.

Kedatangan Wafi sebenarnya adalah hal yang paling dinanti, semua rencana terbaik sudah dia susun agar sang suami mendapatkan pelayanan terbaik saat bersamanya. Dari mulai suasana rumah, bunga segar yang selalu ada di vas, masakan dan tentu saja dirinya.

"Mas mau makan sup kacang merah?"

"Kamu yang masak?"

Dia mengangguk. "Rencana saya masak sore nanti untuk Mas makan malam, tapi Mas keburu datang jadi saya mau masak sekarang boleh?"

Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang