Wafi seolah enggan meninggalkan Karenina meski dokter mengatakan jika kondisi istrinya itu baik-baik saja. Pria itu khawatir kakaknya akan kembali menemui sang istri dan melakukan ancaman kepada istri keduanya itu.
"Mas Wafi, saya nggak apa-apa. Mas bisa kembali ke rumah sakit. Percayalah, saya baik-baik saja." Karenina mencoba meyakinkan suaminya.
"Tapi khawatir, Aisyah."
Karenina tersenyum kemudian mengusap punggung Wafi.
"Hari sudah menjelang malam, saya justru khawatir dengan Mbak Mutia, Mas. Karena pasti Mbak Mutia sekarang sedang gelisah karena Mas Wafi tidak kunjung tiba di sana," tuturnya lembut.
"Mbak Mutia sudah berapa kali menelepon Mas Wafi, 'kan? Itu artinya beliau sedang cemas."
Wafi menarik napas perlahan. Sungguh memiliki dua istri sebenarnya sama sekali tidak pernah dia bayangkan apalagi terlintas di kepalanya. Bukan menyesali yang sudah terjadi, tetapi terkadang saat berada di posisi sulit seperti ini, muncul perasaan tersebut. Mengingat awal menikahi Karenina adalah karena permintaan Umi dan Mutia.
"Aisyah, aku minta apa pun yang terjadi padamu jangan pernah kamu simpan sendiri. Aku suamimu, dan aku punya kewajiban untuk melindungi dan memberi nyaman padamu," ujar Wafi dengan tatapan mata penuh kelembutan.
"Tolong, Aisyah. Aku tahu kamu sedang terus berusaha untuk menjaga nama baik keluargaku dan menjaga perasaan Mutia, tapi kamu juga berhak untuk itu. Dan ... tolong, aku takut kelak di akhirat berjalan pincang karena ketidakadilanku yang mungkin kamu sedang rasakan. Tolong ya," mohonnya kali ini dengan suara sangat lembut.
Karenina tersenyum tipis lalu mengangguk.
"Mas Wafi, ada banyak kebahagiaan yang saya dapat setelah berhijrah dan menjadi bagian dari keluarga Mas Wafi. Saya hanya hamba yang lemah, saya tidak punya power apa pun untuk mensupport Mas Wafi dan keluarga. Saya diterima dengan baik di keluarga ini saja sudah menjadi kebahagiaan buat saya, jadi ... jangan pernah berpikir saya berkorban untuk itu. Semua yang saya lakukan adalah karena rasa terima kasih saya, Mas," ungkap Karenina panjang lebar.
Wafi kembali menarik napas dalam-dalam. Sifat yang dimiliki Karenina itulah yang membuat dirinya selalu saja jatuh pada satu perasaan khawatir. Khawatir jika suatu saat Farhana akan mengintimidasi istrinya sehingga tak ada jalan lain bagi sang istri selain mengikuti titah sang kakak.
"Dan Mas Wafi harus tahu kalau saya tidak pernah sama sekali merasa diabaikan oleh Mas Wafi. Tidak pernah, Mas. Apa yang saya terima dan saya rasakan bahwa Mas Wafi selalu adil pada saya dalam hal apa pun. Jadi ... Mas nggak perlu khawatir. Saya akan bersaksi jika Mas adalah suami yang bertanggung jawab dan adil."
Wafi meraih bahu Karenina kemudian memeluknya erat.
"Sekarang Mas sudah lega, 'kan?"
Tak menjawab, Wafi hanya menarik kedua sudut bibirnya.
"Sekarang Mas bisa tinggalkan saya. Mbak Mutia sudah menunggu."
**
Sofia menatap kakaknya dengan tatapan kesal. Kalimat kebencian yang diungkap sang kakak menurutnya sudah melampaui batas. Siang itu Sofia sengaja bertandang ke butik milik sang kakak. Karena umi mereka berulang-kali mengutarakan keresahannya pada Farhana. Tentang perbuatan dan ucapan akan pertamanya itu.
"Mbak Hana, tolong katakan apa kesalahan Nina sehingga Mbak selalu saja ingin mengusik hidupnya!"
"Aku? Aku mengusik hidupnya?" tanyanya santai, lalu sambil tertawa mengejek dia kembali berkata, "Dia yang sudah mengusik hidup kita! Dia yang sudah mengusik ketenangan keluarga ini. Jadi tidak ada yang mengusiknya selain dirinya sendiri!"
Sofia masih memindai wajah sang kakak. Entah kenapa baginya Farhana benar-benar tidak lagi seperti dulu. Kakaknya itu bahkan sudah seperti orang lain baginya.
"Aku benci sama orang munafik seperti dia. Kamu seharusnya sadar itu, Sofia! Dia masuk ke keluarga ini hanya untuk mendapatkan kenyamanan dan ketenangan karena sesungguhnya dia hanya perempuan malam yang ...."
"Yang apa, Mbak?"
Menyeringai, Farhana kemudian menyadarkan tubuh ke punggung kursi.
"Kamu tahu seperti apa pergaulan perempuan malam? Kamu nggak khawatir dia tertular penyakit mengerikan?"
"Maksud Mbak?"
Menarik miring salah satu sudut bibirnya, Farhana menyerahkan ponselnya.
"Apa ini, Mbak?"
"Kamu baca aja, chat aku dengan laki-laki berengsek itu!"
Sofia langsung paham saat sang kakak menyebut laki-laki berengsek. Karena semenjak mereka bercerai selalu itu yang dia gelarkan kepada mantan suaminya.
[Maafkan aku, Hana, tapi aku tidak lagi bisa mengirim sejumlah uang untuk keperluanmu dan anak-anak lagi.]
[Itu kewajibanmu! Enak aja mau lepas tangan dan bersenang-senang sama perempuan laknat itu!]
[Maafkan aku, Hana. Aku menyesal telah meninggalkanmu dan anak-anak, tapi tolong jangan selalu sudutkan aku. Apa yang terjadi bukan melulu karena aku. Tolonglah, Hana, jangan terus memelihara ego seolah kamu paling benar.]
[Bagus! Sekarang bahkan kamu begitu pintar menceramahiku!]
[Hana aku sakit. Aku mohon izinkan aku menelepon anak-anak. Jangan buat mereka membenciku.]
[Sakit atau nggak, bukan lagi urusanku! Bukannya ada perempuan itu? Kenapa? Apa dia meninggalkanmu?]
[Dia juga sakit, Hana.]
[Syukurlah!]
[Aku terinfeksi HIV, Hana. Aku tertular dari dia. Aku serius. Aku sakit, Hana.]
Sofia mengalihkan pandangannya ke sang kakak. Matanya membulat dengan kening berkerut menatap Farhana.
"Mas Bram? Astaghfirullah, Mbak. Mas Bram terinfeksi ...." Sofia menutup mulutnya dengan tangan. Dadanya bergemuruh, sementara otaknya berusaha untuk memahami yang terjadi.
Sofia tak menyangka dengan apa yang dia baca dan ketahui. Sependek yang dia tahu, Bram adalah pria baik dan penuh kasih sayang. Dia sangat terpukul mengetahui kenyataan yang kini dialami oleh mantan kakak iparnya itu.
"Ya Allah, Mbak. Kasihan Mas Bram."
"Kasihan kamu bilang? Untuk apa kasihan sama laki-laki berengsek itu? Seharusnya Mbak yang harus dikasihani, Sofia!"
Sofia merapikan jilbabnya kemudian mengembalikan ponsel tersebut kepada Hana.
"Lalu apa hubungannya dengan Nina, Mbak?"
"Jelas berhubungan sangat erat! Kalau laki-laki berengsek itu tertular dari perempuan itu ... tentu saja tidak menutup kemungkinan Karenina mengidap virus yang sama dengan dia! Mereka sudah lama malang melintang di dunia malam. Kamu harus cerdas!"
"Mbak hanya ingin menjaga. Itu aja!" imbuhnya sembari menegakkan tubuh.
"Astaghfirullah, Mbak Hana! Istighfar, Mbak! Mbak itu sudah memfitnah, Nina! Istighfar, Mbak!"
Farhana hanya menaikkan alis.
"Kamu seharusnya bisa membedakan mana yang fitnah mana yang berjaga-jaga. Berhati-hati!"
Sofia menggeleng cepat. Dia terlihat kesal dan kecewa terhadap tuduhan yang dilontarkan kepada adik iparnya. Dia tahu seperti apa Karenina, dan bagi Sofia, kakaknya itu telah sangat melampaui batas.
"Cukup, Mbak!" Dia bangkit dan menggeleng. "Aku nggak mau terlibat pada pemikiran yang busuk seperti yang Mbak pikir! Ingat, Mbak. Apa yang Mbak katakan tadi itu adalah fitnah keji. Sangat keji. Sebaiknya Mbak segera sadar, perbaiki diri, bersihkan hati." Sofia mengambil tasnya. "Aku pulang. Assalamualaikum!"
***
Dua bab done yaa.
Salam hangat 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...