Mutia yang tengah menikmati makan siang terkejut karena kedatangan Farhana yang tiba-tiba. Tak biasanya kalak iparnya itu datang tanpa kabar terlebih dahulu."Mbak Hana kenapa? Biasanya telepon dulu?"
Sejenak Farhana menoleh ke sekeliling seakan memastikan jika hanya ada mereka berdua di tempat itu.
"Mutia, kamu sudah dengar?"
"Dengar tentang apa, Mbak?"
"Ini penting! Bahkan mungkin suamimu belum tahu soal ini!"
Perempuan yang mengenakan baju hamil berwarna hijau itu mengernyit dengan tatapan mata menyipit.
"Apa itu, Mbak? Sepertinya penting?"
"Sangat penting! Kamu harus jadi orang pertama yang tahu karena ini erat hubungannya denganmu!"
"Mbak Hana, jangan bikin saya penasaran!" Mutia menggigit empal daging dari rawon yang dibuat khadimatnya.
Farhana menyeret kursi lebih dekat ke Mutia, lalu duduk. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya bercerita tentang apa yang baru saja dia ketahui.
"Maksud Mbak Hana ... Nina hamil?" Suara Mutia terdengar bergetar seolah tak percaya.
Farhana mengangguk. "Tapi kurasa dia masih menyimpannya sendiri, bahkan mungkin Wafi pun tidak tahu."
Mutia bergeming. Hatinya terasa bercampur aduk. Jika dulu dia begitu menginginkannya kehamilan Karenina, tetapi kini ada sudut hati yang mencoba berontak.
Bagaimana mungkin dia dan Nina hamil bersamaan meski mungkin ada selisih waktu. Lalu bagaimana Wafi, jika mengetahui kedua istrinya hamil, mana yang akan dia prioritaskan? Terlebih jika nanti anak Karenina laki-laki, tentu anak Nina-lah yang akan menempati kandidat utama pengganti Wafi. Lalu bagaimana dengan anaknya yang jelas dinyatakan seorang perempuan?
"Mutia."
"Iya, Mbak?"
"Coba kamu telepon Wafi, tanya ke dia apa dia tahu soal ini!"
"Tapi, Mbak, Mas Wafi ... apa tidak lebih baik jika Mas Wafi nggak tahu soal ini?"
"Maksud kamu?"
"Kalau Mas Wafi tahu, sudah pasti dia akan lebih sibuk dan waktu untuk menemani alu di saat hamil tua akan berkurang."
Farhana menatap adik iparnya.
"Benar juga, mungkin aku yang harus menanyakan hal ini. Aku yang akan mendesak Karenina untuk bicara jujur tentang kondisinya, lalu ...." Dia menarik napas dalam-dalam.
"Lalu apa, Mbak?"
"Aku akan minta agar dia pergi jauh dari Wafi!"
"Maksud Mbak Hana? Pergi jauh?"
"Iya, supaya dia tidak menghantui perasaanmu dan keluarga besar kita!"
Mutia kembali terdiam. Sembari mengusap perut, dia perlahan bangkit.
"Kamu mau ke mana, Mutia?"
Tak menjawab, dia memanggil khadimatnya.
"Ada apa, Mbak Mutia?"
"Tolong bilang ke Pak Min, siapkan mobil! Saya minta antar ke suatu tempat!" titahnya.
"Kamu mau ke mana, Mutia?" Hana ikut bangkit dari duduk.
"Ke rumah Nina," jawabnya tegas
Dahi Hana berkerut mendengar jawaban itu.
"Untuk apa? Ingat apa kata dokter, Mutia! Kamu harus ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...