Menikahi Luka 7

2.6K 150 4
                                    


"Kadang Wafi lelah menghadapi Mutia, Mi," keluhnya saat mobil berhenti di lampu merah.

Hadijah--ibu dari Wafi itu menarik napas dalam-dalam. Wafi adalah anak bungsu dan putra satu-satunya dari tiga bersaudara yang diberi amanah oleh almarhum suaminya untuk menjadi salah satu yang mengelola pondok pesantren selain dia dan menantunya.

Wafi baginya adalah sosok anak laki-laki yang sangat patuh dan berbakti pada kedua orang tuanya.

Mutia adalah putri tunggal dari sahabat ayah Wafi, Ustaz Burhan --ayah Mutia adalah pemimpin pondok pesantren yang berada di lain kota dengannya. Dijodohkan dengan Mutia bukan hal yang berat baginya, karena baik agama, keturunan serta paras Mutia sama sekali tidak mengecewakan.

Namun, belakangan ini Mutia menjadi sensitif dan sering uring-uringan. Sebenarnya Wafi paham apa yang diresahkan istrinya itu. Wajar bagi Mutia jika menginginkan anak hadir di tengah-tengah rumah tangga mereka. Karena sepuluh tahun mereka mengarungi kehidupan berumah tangga, diakui atau tidak 'dunia' mereka sepi.

Setelah cukup lama menunggu, akhirnya pada tahun ke sembilan, mereka sepakat memeriksakan diri dan berkonsultasi ke dokter. Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, diketahui jika Mutia bermasalah pada rahimnya sehingga kemungkinan untuk memiliki anak sangat kecil. Mendengar hal itu Mutia merasa hancur. Seluruh hidupnya seakan tak berguna.

Tidak ada satu pun perempuan yang mau berada di posisinya. Setiap hari Mutia lebih memilih mengurung diri di kamar dan itu berlangsung cukup lama.  Meski Wafi selalu menenangkan dan memberi semangat pada sang istri, tetapi tetap saja Mutia merasa dirinya bukan perempuan yang sempurna.

"Permintaan Mutia itu yang bikin Wafi bingung," keluhnya sembari kembali menjalankan mobil saat lampu berubah hijau.

"Memangnya apa yang dia minta?"

"Dia minta Wafi menikah lagi," jawab pria berkulit putih itu.

Hadijah menarik napas dalam-dalam. Dia tahu problem rumah tangga putranya bukan perkara mudah, tetapi perempuan paruh baya itu sudah menerima apa pun yang terjadi dengan ikhlas. Meski sebagai seorang ibu dia ingin mendapatkan cucu dari Wafi, anak laki-lakinya.

"Kamu sudah katakan jika tidak perlu merisaukan soal keturunan pada Mutia?"

"Sudah, Mi. Sudah berulangkali Wafi coba beri pengertian padanya, tapi ...." Seolah putus asa, Wafi mengedikkan bahu dan membuang napas perlahan.

"Dia pikir semudah itu menikah lagi?" gerutunya kemudian.

"Memangnya Mutia meminta kamu menikah, dia sudah memiliki perempuan yang akan menjadi madunya?"

Wafi menoleh sekilas pada uminya, lalu menggeleng.

"Sudahlah, Mi. Meski nggak ada anak, Wafi juga punya banyak anak dan keponakan, kan?"

Hadijah tersenyum tipis. Wajar bagi Mutia jika menginginkan anak, wajar juga bagi menantunya itu memiliki kekhawatiran dan ketakutan seperti yang dipikir.

Jika boleh jujur, Hadijah pun sebenarnya terbesit keinginan agar Wafi mencari perempuan yang bisa melahirkan keturunan dari darah dagingnya sendiri. Namun, keinginan itu dia lipat rapi demi menjaga perasaan menantu dan tentu saja Wafi.

"Ya sudah, kalau begitu kamu harus mencoba berbagai cara agar istrimu itu bisa yakin dan kembali tenang. Nanti Umi juga akan bicara."

Wafi mengangguk. Baginya sepuluh tahun hidup bersama Mutia bukan hal yang bisa dianggap biasa. Mutia adalah perempuan yang sangat bisa menjadi sandaran hidupnya kala lelah. Mutia pula yang selalu mensupport saat dirinya nyaris putus asa ketika dihadapkan pada tugas dakwah yang hampir menghabiskan separuh waktunya.

Dulu dia pernah bermimpi jika kelak lahir seorang anak dari rahim Mutia, tentu anak itu akan menjadi anak yang paling beruntung karena dilahirkan dari seorang ibu yang cerdas.

Namun, Allah rupanya masih belum bersedia mewujudkan impian itu. Suka tidak suka, apa pun ketentuan Allah itulah yang harus diterima dengan ikhlas. Wafi yakin Allah selalu memberikan jawaban dari setiap cobaan apa pun pada setiap hamba-Nya.

Tanpa terasa mereka sudah tiba di depan kediaman Mutia. Rumah berarsitektur modern itu terlihat sunyi. Hal itu sudah lumrah karena kedua orang tuanya lebih sering berada di kediaman mereka yang letaknya dekat dengan pondok pesantren.

Sementara rumah yang kini berada di depan mereka hanya sesekali saja mereka tinggali. Rumah bercat putih dengan pagar hitam itu lebih sering dihuni beberapa asisten rumah tangga dan tukang kebun.

"Kamu yakin Mutia di sini, Wafi?" Hadijah menoleh ke putranya.

"Iya, Mi. Mutia di sini."

Tak lama pintu pagar dibuka. Seorang perempuan berjilbab hitam dengan baju panjang berwarna hijau membungkuk sopan mempersilakan mereka masuk.

"Mutia ada, Mbak Sum?"

"Ada, Mas Wafi. Mbak Mutia ada di halaman belakang," jawabnya kemudian kembali menutup pagar.

"Mari saya antar, Mi," ajak asisten rumah tangga itu sopan.

"Umi dulu yang temui Mutia. Wafi ada telepon dari Ustadz Sahal."

Hadijah mengangguk lalu mengucapkan terima kasih pada perempuan yang jika ditaksir usianya sekitar empat puluh limaan itu.

**

Karenina tersenyum mendengar celotehan Nida, anak tetangganya yang baru berusia tujuh tahun. Nida adalah putri tetangganya yang beberapa hari lalu mengantarkan puding buatan ibunya.

Sejak itu gadis kecil yang selalu mengenakan jilbab itu jika sore menjelang sering datang dan bermain di tempatnya. Karenina sendiri sudah pelan-pelan menarik diri bekerja di tempat lamanya. Dia hanya akan datang jika ada klien khusus yang minta ditemani. Meski terkadang di beberapa kesempatan dia memilih menolak.

"Kata Ibu, pakai jilbab itu wajib hukumnya buat orang Islam yang perempuan, Kak."

"Kakak, Islam nggak agamanya?" tanyanya polos.

"Iya. Kakak agamanya Islam."

Mata bening Nida mendelik heran. Keningnya berkerut bak seorang yang sudah berumur tengah memikirkan sesuatu.

"Kalau Kak Nina Islam, kenapa nggak pakai jilbab?" Kembali pertanyaan polos keluar dari bibir mungilnya.

Karenina tak bisa menjawab, dia hanya tersenyum lalu mengusap puncak kepala Nida.

"Kak, besok ada pengajian di rumah Nida. Kak Nina datang ya!" pintanya.

Karenina membasahi kerongkongannya, permintaan gadis kecil ini benar-benar membuat dirinya mati kutu.

"Eum ... besok ya, besok  Kak Nina ...."

"Ayo, Kak. Tadi ibu Nida bilang begitu. Ibu bilang Kak Nina diundang datang ke acara besok. Mau ya, Kak!"

Karenina bungkam. Bukan dia tak ingin, tetapi bagaimana dia bisa datang ke acara itu sementara pakaian yang dia miliki semuanya jauh dari kata sopan.

"Kak Nina! Datang, ya!"

Tersenyum datar, akhirnya dia mengangguk. Anggukan Karenina membuat gadis kecil itu melonjak gembira.

"Nida."

"Ya, Kak?"

"Nida mau antar Kakak beli sesuatu?"

"Beli apa, Kak?" Nida memiringkan kepalanya menatap Karenina.

"Beli baju panjang dan jilbab seperti yang dipakai Nida, tapi Nida izin dulu ke ibu Nida."

Mengangguk antusias, Nida bersorak.

"Nida mau, Kak. Nida izin dulu ke Ibu, oh iya, Kak, ibu Nida punya teman yang jual baju-baju kayak yang dipakai Nida juga Ibu."

"Oh ya?"

Nida mengangguk masih dengan wajah ceria.

"Ya sudah, kalau begitu Kak Nina ke rumah Nida aja deh."

**-


Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang