Karenina mencium punggung tangan Wafi dengan mata berkaca-kaca. Berulangkali dia mengucap syukur atas diijabahnya doa. Sesekali dia meminta maaf karena merasa bersalah."Aisyah, kamu nggak salah. Nggak ada yang salah, Sayang."
Wafi mengusap pelan puncak kepala sang istri. Matanya tersirat kerinduan yang mendalam serta rasa bersalah.
"Aku yang seharusnya minta maaf, karena aku, kamu jadi repot dan khawatir."
"Nggak, Mas. Aku nggak pernah merasa repot untuk Mas dan keluarga jenis, aku hanya khawatir. Khawatir kalau terjadi sesuatu pada Mas dan aku nggak tahu," tuturnya dengan suara bergetar.
"Sstt, sudah. Aku sudah baik-baik saja dan merasa lebih baik setelah bertemu kamu juga Mutia."
Kembali bibir Karenina tertarik, matanya yang masih basah itu berbinar bahagia. Terlalu banyak kisah dalam hidupnya yang telah membuat warna, tetapi entah mengapa kisahnya bersama Wafi adalah salah satu bagian paling indah yang selalu ingin dia bingkai dengan emas, meski tak semua catatan peristiwa demi peristiwa itu indah.
"Sini, aku ingin menyapanya." Wafi memberi isyarat agar istrinya bangkit dari duduk.
"Assalamualaikum, anak Abi. Apa kabar? Berapa lama nggak dengar suara Abi? Kangen ya? Sama, Abi juga. Abi kangen sama adek juga sama Umi," bisiknya lalu menatap lembut Karenina yang membuat perempuan itu tersipu.
"Mas sudah makan?"
Wafi menggeleng.
"Saya suapin ya?"
Sejenak Wafi diam. Dia melihat Mutia tengah berbincang dengan Sofia juga Mira. Istrinya itu terlihat sembari menyusui Salma.
"Atau Mas minta Mbak Mutia yang nyuapin Mas? Sebentar saya panggil ...."
"Aisyah."
Wafi menggeleng.
"Suapin aku," pintanya sembari tersenyum.
Lagi-lagi kebahagiaan yang tak bisa ditukar dengan apa pun. Karenina seolah ingin menikmati kebahagiaannya kali ini. Tanpa disadari olehnya, Mira mengamati interaksi mereka, meski bukan anak kandung, perempuan paruh baya itu ikut merasakan apa yang dirasakan oleh putrinya.
Sementara sudut mata Mutia menangkap kemesraan adik madunya dengan sang suami. Perempuan berwajah manis itu menarik napas dalam-dalam lalu menatap sang putri yang sudah terlelap.
Pada titik ini perasaannya benar-benar campur aduk. Dia benar-benar bisa merasakan dan mendapatkan jawaban kenapa Wafi tidak setuju jika dia dan Karenina tinggal serumah.
Tak ingin ada kecemburuan yang terlihat, dia lalu menatap Salma yang terlelap.
"Mutia," panggil Mira.
"Iya, Bu?" Dia menoleh.
"Terima kasih, ya. Kamu sudah menjadi saudara yang baik untuk anak saya. Meski awalnya dia terlihat seperti sebatang kara."
"Sama-sama, Bu Mira. Sebenarnya saya yang harus berterima kasih kepada Bu Mira dan Karenina." Dia terdiam sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam. "Terlalu banyak hal yang membuat saya terpengaruh hingga akhirnya saya sendirilah yang terperosok. Sementara Nina, dia perempuan paling ikhlas yang pernah saya temui, Bu."
Mira tersenyum tipis sembari mengangguk. Dari Karenina dia tahu apa dan bagaimana arti sebuah hubungan. Dari anak sambungnya, dia bisa tahu apa yang dimaksud dengan ikhlas dan berserah. Meskipun terkadang dirinya tidak rela tatkala harus mengetahui jika Karenina tidak disukai bahkan diteror oleh kakak iparnya dengan alasan yang sangat tidak masuk akal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...