Kebahagiaan terpancar di wajah cantik perempuan berkulit putih itu. Dengan mengenakan gamis berwarna chocomilk serasi dengan jilbabnya, dia kembali menata hidangan yang tampak lezat di meja makan. Di ruang tamu Wafi, Sheila dan suaminya tampak berbincang sesekali terdengar tawa meski terlihat Wafi dan Bram seperti tengah menyembunyikan sesuatu.
"Sudah azan, mari kita buka puasa," ujar Karenina yang muncul dengan membawa minuman hangat dan kurma di nampan.
Mengucap terima kasih, sepasang suami istri itu menikmati hidangan pembuka sore itu.
"Kita ke masjid, Mas Bram?" Wafi menatap pria yang sejak tadi juga terlihat kaku meski mencoba bersikap biasa.
"Iya. Kita berdua salat di masjid dulu ya, Sayang." Dia menatap Sheila yang mengangguk sembari merapikan kerudungnya.
Setelah kedua pria itu keluar dari rumah, Karenina mengajak Sheila salat.
"Kamu terlihat happy, Nin," ungkap Sheila sesaat ketika mereka selesai salat.
"Alhamdulillah, Sheil."
"Meski jadi istri kedua?"
"Iya. Nggak ada yang salah soal itu. Yang penting aku tidak merampas kebahagiaan Mbak Mutia," terangnya sembari kembali mengenakan khimar.
"Kamu sendiri, Sheil? Bahagia, kan?" Karenina mengajak temannya bangkit. "Kita ke ruang makan, yuk!"
Keduanya duduk menghadap meja makan yang sudah terhidang sayur dan lauk pauknya.
"Aku ... aku bahagia sih, tapi ...."
"Tapi kenapa?"
Mengedikkan bahu, Sheila kemudian mengungkapkan jika beberapa kali merasa diteror oleh mantan istri Bram.
"Kamu benar, Na, aku memang salah merampas kebahagiaan orang lain, tapi aku sama Mas Bram saling mencintai dan kami ingin kami sah."
Karenina membuang napas perlahan. Tiba-tiba terlintas nama Farhana di kepalanya.
"Sheila."
"Ya?"
"Kamu tahu siapa nama mantan istri suamimu?"
Menarik napas dalam-dalam, Sheila menyebutkan nama mantan istri Bram.
"Dia seorang bisnis women yang sibuk. Kesibukannya membuat Mas Bram merasa diabaikan. Bahkan untuk berdialog intens saja Farhana hampir tak punya waktu."
Dia masih menyimak penjelasan rekannya. Akan tetapi, di hatinya mulai bisa mengetahui siapa yang dimaksud Sheila. Tentu saja rekannya itu tidak tahu jika perempuan yang suaminya telah direbut olehnya itu adalah kakak ipar Karenina, yang berarti kakak kandung dari Wafi.
Terjawab sudah kenapa gesture suaminya tampak kaku saat pertama bertemu Bram.
"Sheila, apa Bram mempunyai anak?" tanyanya pelan.
"Punya. Dia punya anak dua, dan sampai sekarang masih dinafkahi, kok."
Mendengar penjelasan rekannya Karenina membasahi tenggorokan. Ketukan di menyudahi obrolan itu. Terdengar suara Farhana di luar. Sejenak dia menatap Sheila yang masih tidak menyadari jika dia tengah mengkhawatirkan keadaan saat ini.
"Sheila."
"Ya?"
"Sepertinya kakak ipar dan mertuaku sudah datang," ujarnya ragu.
"Oh ya? Tunggu, aku rapikan kerudung dulu." Dia kemudian bangkit mengikuti Karenina yang berjalan menuju pintu.
Andai saja dia bisa tahu lebih awal jika Bram adalah benar mantan suami Farhana tentu dia tidak akan memiliki ide untuk mengundang ibu mertua dan kakak-kakak iparnya berbuka puasa bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...