Karenina merapikan berkas-berkas sang suami di meja ruang tengah. Satu kertas terlepas dari tangannya, segera dia membungkuk memungut lembaran tersebut. Keningnya mengernyit membaca deretan nama donatur tetap untuk pesantren yang dikelola Wafi.
"Papa?" gumamnya dengan bibir bergetar. Nama papanya tertera di sana bersama puluhan orang lainnya.
Tanpa sepengetahuannya, ternyata sang papa sudah lama menjadi donatur tetap untuk pesantren ini, dan tepat di tahun papanya meninggal, tak ada lagi yang meneruskan kebiasaan baiknya itu.
Perlahan ingatannya berkelana. Kembali tampil kilasan kebersamaan dengan papanya. Pria yang paling menyayanginya itu sama sekali tidak pernah berkata kasar meski dirinya lebih sering menyusahkan. Perhatian dan kehangatan papanya kembali terasa, membuat hati Karenina menghangat karena rindu.
Tanpa disadari setitik air mata jatuh tepat saat Wafi muncul.
"Aisyah? Kamu menangis? Kenapa?" tanyanya sambil mengulurkan tangan mengusap air mata sang istri dengan jemarinya.
"Nggak, Mas. Nggak nangis, kok, cuma ...."
"Meneteskan air mata? Heum?" Dia mendekat meraih bahu istrinya. "Ada yang membuatmu bersedih? Katakan, ada apa!"
Karenina tak menjawab, hatinya semakin nelangsa mengingat sang papa. Perlahan kerinduan semakin memuncak, benar kata pepatah jika semuanya akan terasa sangat berarti jika sudah tiada.
"Aisyah? Kita duduk dulu ya."
Mereka duduk berdampingan, sementara kertas yang bertuliskan nama-nama donatur masih dipegang erat oleh Karenina. Penasaran, Wafi mencoba mengambil lembaran tersebut.
"Apa ada hubungannya dengan lembaran ini?" Dia menoleh menatap Karenina yang masih bergeming dengan air mata yang kembali mengalir. "Aisyah?"
Tak mendapatkan jawaban, Wafi membaca satu persatu daftar nama di kertas itu. Bibirnya berhenti bergumam kala membaca nama seseorang yang pernah dia sebut di belakang nama sang istri. Agung Wicaksana. Karenina Aisyah binti Agung Wicaksana.
"Ini nama ... papamu, kan?" Wafi menatap dengan penuh tanya.
Mengangguk pelan, Karenina menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kali ini isaknya terdengar keras.
Tak menyangka jika almarhum mertuanya adalah seseorang yang mendonasikan hartanya yang cukup besar untuk pesantren, muncul rasa hormat yang luar biasa sekaligus salut, dan tentu saja dia bisa merasakan kesedihan sang istri.
Wafi baru tahu karena untuk masalah donatur dan pembangunan bukan urusannya, ada staf khusus yang bertugas untuk itu. Dan kertas yang dia simpan dalam map itu adalah laporan beberapa donatur yang sudah meninggal dunia.
"Ternyata ini jawaban dari segala pertanyaanku. Allah punya rencana indah untuk kita. Dia mempertemukan aku dengan seseorang yang punya andil besar pada pesantren ini dan kamu adalah bagian terbaik dari hidup beliau yang diberikan lewat Allah untukku."
Wafi memeluk erat sang istri, betapa indah cara Allah mempertemukan dia dengan Karenina. Siapa pun tentu akan sangat risih jika mereka masih mengulik masa lalu sang istri. Bukan dia tak mendengar kasak-kusuk yang saat ini menyeruak, tetapi Wafi memilih menutup telinga rapat-rapat karena tak ingin melihat Karenina merasa tidak nyaman.
"Papa tidak pernah bercerita apa pun pada saya soal ini, Mas. Andai beliau tahu, betapa saat ini saya merasa bangga memiliki beliau," tuturnya di sela isak.
"Dan beliau pasti lebih bangga dan bahagia memiliki kamu, Aisyah," bisik wafi tepat di telinga Karenina.
"Dan aku pun sangat bahagia memilikimu juga mertua seperti beliau," imbuhnya sembari mengeratkan pelukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...