Menikahi Luka 17

1.9K 145 3
                                    

Farhana mengernyit heran mendengar cerita Hadijah tentang adik iparnya. Kakak pertama Wafi itu baru tahu jika ternyata Karenina, perempuan yang dinikahi adiknya itu memiliki masa lalu yang menurut dia sangat tidak pantas untuk dijadikan istri.

"Umi, kenapa Umi terlalu percaya sama dia? Dia itu ... keluarganya aja sudah kocar-kacir, belum lagi pekerjaan dia dulunya. Kenapa Umi dengan mudahnya percaya?"

Hadijah menatap Sofia yang duduk di seberangnya. Adik dari Farhana itu hanya menggeleng samar meminta agar Hadijah tidak menanggapi apa yang diucapkan kakaknya.

"Umi, Sofia, kalian ini kenapa seperti sedang mempertaruhkan nasib Wafi, sih? Oke, dia seorang perempuan yang sudah berhijrah, tapi ukuran hijrah itu tidak bisa hanya dengan kita tahu jika dia sudah berubah dalam hal yang zahir, kan? Kita nggak tahu batinnya seperti apa." Hana menarik napas dalam-dalam. 

"Umi bilang dia sudah memiliki beberapa juz hapalan, tapi itu bukan standar hijrah juga, kan, Mi?" cecar anak pertamanya itu. "Hana belum bisa percaya soal ini, tapi yang Hana kecewa itu kenapa Umi juga kamu Sofia, begitu mudahnya memberi jalan agar dia masuk ke keluarga kita," imbuhnya dengan nada kecewa.

Tidak bisa dipungkiri alasan Farhana muncul karena dia mempunyai rekan jejak rumah tangga yang tidak baik. Bram suaminya yang begitu paham agama pun akhirnya tergila-gila dengan seorang perempuan penghibur yang akhirnya sekarang meninggalkan dia dan anak-anaknya.

Luka batin kakak tertua dari Wafi itu cukup melekat dan sulit hilang, mengingat betapa dia dan Bram dulu adalah sepasang suami istri yang sangat ideal. Terlihat sangat serasi. Bram adalah pengusaha yang sukses dan memiliki kemampuan berdakwah dengan fasilitas dan posisi yang dia miliki.

Namun, syetan memang paling bisa menghiasi kemaksiatan dengan segala tipu dayanya. Bram perlahan larut dengan kepopuleran yang dia miliki. Pria yang sangat mencintai keluarganya itu telah berubah. Hingga akhirnya Farhana menggugat cerai.

"Hana, kita tidak bisa memukul rata seseorang hanya karena masa lalunya. Semua itu tergantung bagaimana dia memilih dan memilah apa yang menurutnya baik, dan semuanya tentu kembali pada bagaimana lingkungan membentuk isi pikirannya." Hadijah akhirnya membuka suara. "Soal Bram ... itu karena tarikan kuat dari luar dan dia tidak bisa menguasai diri, dan mungkin juga karena kamu kurang perhatian dengan perubahan dia dari hari ke hari."

Kedua mata Hana membidik lekat uminya.

"Jadi Umi sekarang menyalahkan Hana? Umi mau bilang kalau Hana nggak becus jadi istri begitu?" Ucapannya terdengar ketus.

"Bukan begitu, Hana, tapi semua yang terjadi itu memang kita harus selalu instrospeksi. Akibat itu karena adanya sebab."

Hening. Sofia hanya bisa diam mendengar perdebatan umi dan sang kakak.

"Kita lihat saja bagaimana nanti Karenina. Umi dan Sofia lebih tahu seperti apa istri kedua adikmu itu."

Farhana mengedikkan bahu. Masih terlihat wajahnya tidak suka dengan keputusan Hadijah meski pernikahan itu sudah terlewati. Dia begitu sayang pada Wafi juga Mutia.

"Herannya, kenapa Mutia juga menjatuhkan pilihannya pada perempuan itu!" Hana menggumam sembari meraih kunci mobil di depannya.

"Lagipula kalau alasannya cuma karena Mutia ingin memiliki keturunan, kenapa harus menikah lagi sih? Banyak para santri yang yatim. Mereka itu bisa jadi anak angkat, atau kau mau anak bayi juga bisa kok. Aku kenal dengan orang-orang di dinas sosial yang bisa membantu untuk mengurus hal yang berhubungan dengan mengangkat anak!" imbuhnya masih dengan paras tegang.

"Sudahlah, Mbak, kita nggak boleh berburuk sangka. Insyaallah pilihan Umi bisa dipertanggungjawabkan," sela Sofia.

Menarik napas panjang, Farhana menatap Sofia lalu melihat ke jam tangan.

"Aku mau keluar dulu. Hari ini aku buka puasa di luar. Ada janji sama pemilik butik Syaira di Restoran Pondok Bambu," pamitnya lalu mencium punggung tangan Hadijah sembari menguluk salam.

Sepeninggal Farhana, Hadijah termangu. Anak pertamanya itu memang jadi berubah setelah bercerai dengan suaminya. Farhana menjadi seorang yang keras kepala dan sulit menerima masukan dari siap pun. Hal itu yang terkadang membuat Hadijah sedih.

"Umi? Umi pasti sedang memikirkan Mbak Hana, kan?"

Perempuan paruh baya itu menarik kedua sudut bibirnya lalu menggeleng.

"Umi cuma merasa Hana masih begitu trauma dengan apa yang menimpa rumah tangganya, Sof."

"Kita doakan saja ya, Mi. Semoga Mbak Hana diberi kelembutan hati sehingga bisa menerima apa yang menjadi takdirnya."

Hadijah mengangguk pelan.

**

Waktu berlalu begitu cepat. Kebersamaan satu pekan yang diberikan oleh Mutia sudah selesai. Itu berarti Wafi harus mulai bergiliran menemani istri-istrinya. Hal inilah yang membuat dirinya sedikit kerepotan.

Membagi waktu yang terkadang dirinya sendiri kesulitan apalagi jika saat harus disibukkan dengan urusan sekolah dan pondok pesantren. Mengingat ada banyak agenda yang telah dibuat untuk memajukan sekolah dan pondok yang dirintis almarhum abinya.

Sore itu dia melihat Karenina tengah menyiapkan hidangan buka puasa. Perempuan berwajah cantik tersebut sudah mulai terbiasa dengan tanpa mengenakan jilbab jika berada di dalam rumah.

Berbeda saat awal-awal dulu yang masih malu-malu menampakkan apa yang seharusnya dia tampakkan di depan Wafi. Sesekali dia melihat Nina menyingkirkan anak rambut yang mengganggu di dahinya dan hal itu yang membuat Wafi suka.

Meski sudah satu pekan bersama, tetap saja dia masih belum bisa memberikan hak batin bagi Karenina selain karena jadwal di bulan puasa sangat padat, dia pun tahu sang istri masih sangat canggung untuk itu. Meski demikian dia pernah membuka pembicaraan soal hubungan di ranjang kepada sang istri.

"Aku tahu kamu masih tegang, dan aku akan memberi ruang untuk itu hingga kamu siap," tuturnya kala mereka duduk di musala rumah mereka setelah selesai menyimak hapalan sang istri.

Karenina kala itu mengangguk dan tersenyum lega. Dia pun tak menampik jika benar apa yang dikatakan sang e tentang perasaannya. Hal itulah yang membuatnya bisa pelan-pelan merasa nyaman berada satu rumah dengan orang yang sama sekali asing dan baru baginya.

"Ada yang perlu dibantu?" tanyanya saat berada di sebelah sang istri.

Tersenyum lebar, Karenina menggeleng.

"Mas duduk aja di ruang makan, ini sebentar juga selesai," jawabnya dengan suara lembut.

"Oh iya, Mas, aku tadi bikin risol mayo, nanti Mas bawa ke Mbak Mutia, ya?"

Mengangguk Wafi menarik bibirnya. Keinginan Karenina untuk melayaninya dengan baik sangat kuat. Terbukti dia tak kenal lelah mencoba berbagai resep masakan dan camilan demi membuat dirinya terkesan.

Hal kecil semacam itu benar-benar menjadikan dirinya berpikir jika memang uminya dan Mutia tidak sembarangan memberikan calon ibu untuk anaknya kelak jika Allah menghendaki.

"Kamu nggak apa-apa sendirian, kan?" Wafi bertanya saat mereka sudah duduk bersama di meja makan.

"Nggak apa-apa, Mas. Nggak perlu khawatir. Lagian ada banyak santri di sini dan Bu Joko juga setiap hari datang, kan?"

Wafi mengangguk dan menghela napas lega. Bu Joko adalah khadimat yang diminta Wafi untuk menemani dan membantu istrinya kala siang hingga sore tiba.

Tak lama azan berkumandang. Keduanya lalu tampak menikmati hidangan berbuka hari itu.

"Jadi kapan teman kamu datang?" Wafi menatap istrinya setelah meneguk air putih hangat.

"Insyaallah lusa, Mas. Eum ... kalau Mas nggak bisa menemani, apa boleh saya menerima mereka sendirian?"

Tertawa kecil, Wafi menyelipkan rambut Karenina ke belakang telinga.

"Aku suamimu, dan aku akan menemanimu menerima tamu."

"Terima kasih, Mas."

Pria berwajah teduh itu mengangguk.

"Kita salat Maghrib sekarang?"

Karenina mengangguk seraya bangkit dari duduknya.

**

Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang