Dunia ini medan perang.
Layaknya prajurit yang disiapkan Panglima tertinggi untuk menempuh jalan juang.
Entah siapa yang terhunus duluan,
bagian diri tercabik tajamnya pedang lawan tak terhitung berapa banyak.
Namun yang lebih sering adalah,
tanpa sadar pedang itu menghunus diri sendiri.
Menusuk bagian jantung hingga tak utuh empat bagian.
Disanalah, medan perang memang selalu tak terprediksi taktiknya.
Kawan yang tiba-tiba menjadi tawanan,
lawan yang berakhir menjadi kawan.
Bahkan saat rencana telah menguatkan pundak-pundak pasukan,
persiapan menerima segala kemungkinan terburuk tak bisa dimusnahkan.
Namun, nun jauh disana.
Dalam hati yang masih kuat bertahan percaya,
banyak keajaiban yang bersinar lewat ujung-ujung tombak,
seperti harapan tak mati pudar melangit memuja Pemilik Semesta.
Dalam jantung yang terdiri dari empat ruang,
bak seperempat lingkaran yang tergabung menjadi satu lingkaran takdir.
Aku, kamu, sejatinya sedang ada dalam jalan juang peperangan.
Mengikat dan memperjuangkan yang semulai terurai,
dengan harapan utuh seperti lingkaran penuh.
"Ghaz?"
Empunya nama menoleh, terpanggil disebut oleh suara lembut. Tulang pipi yang membentuk ketegasan di wajah bergerak ke atas melengkungkan mata seiring dengan lekuk bibir bak sabit menadah. Gerakan mengancing seragamnya terhenti, digantikan dengan wanita berusia senja yang ia panggil Umma. Wanita memakai terusan kebangsaan bermotif bunga-bunga itu merapikan bagian kerah putranya yang terbiasa tak dipedulikan. Kadang setengah menekuk setengah berdiri pun tak dihiraukan jika ia tak membenarkan. Selepasnya, tepukan di pundak seakan membersihkan debu-debu ia lakukan.
"Udah Tahajjud?"
"Siap sudah! Lebih aman setelah bertemu Komandan Langit dan Bumi!" jawab putranya tegas.
"Panggilan darurat lagi, Bang? Jam empat pagi loh ini," ujar Shafira menyadari putranya begitu sempit memiliki waktu di rumah.
"Namanya tugas, gimana lagi Umma?" Pria itu beralih memasukkan beberapa barang yang akan menjadi kebutuhannya selama di Ksatrian.
"Sering-sering pulang kesini dong, Ghazi ... Umma gak ada temen berantem."
Dahi pria itu terlipat, matanya menyipit. "Anak Umma bukan cuma satu, yang lebih sering ngajak Umma tempur kan Kak Gia."
"Kakak kamu itu lagi obsesi banget ngejar jadi Profesor, kerjaannya tiap hari ngajakin Umma review tesis orang." Shafira menahan gondok.
"Bagus dong, daripada Ayah ngajakin Umma review kasus terkini. Lebih rumit mana?"
"Gak ada yang bisa diajak santai sedikit." Hembusan nafas Shafira terdengar pasrah. "Kenapa Umma ada di lingkaran orang-orang obsess? Untuk Umma yang motto hidupnya alon-alon asal kelakon itu rasanya jadi kayak dikejar maling."
Akhirnya Ghazi dapat tertawa. Kepalanya menggeleng beberapa kali. "Alon-alon asal kelakon ... tapi kepala departemen spesialis anak, istrinya Irjen Pol Yusuf Al-Ahkam, anaknya yang satu dokter bedah, yang satu remahan rengginang. Kelakon ya Umma?"
KAMU SEDANG MEMBACA
QUADRANT : Menjadi Seperempat Bagian Takdirku
SpiritualBagaimana jika ternyata tukang kacang tiba-tiba mengungkap kasus muncikari? Hidup Agiska Humaira sudah penuh tekanan karena sosok Ibu yang tak bisa ia jadikan surga. Ditambah pula kejadian penangkapan yang sekaligus membuatnya mengetahui fakta bahwa...