Q41 : Fatamorgana

3.9K 401 74
                                    

Bismillahilladzii laa yadhurru ma'asmihii syaiun fil ardhi walaa fissamaai wahuwassamii'ul 'aliim

PERTAMA, AKU MINTA KALIAN SIAPKAN HATI LEBIH LAPANG UNTUK BACA EPISODE INI. AKU TAU PASUKAN KACANG ADALAH PASUKAN YANG KUAT :)

MOHON JUGA DISIAPKAN UNTUK SEGALA EMOSI DAN AIR MATA YANG KELUAR SELAMA BACA BAGIAN INI

BISMILLAH YA ... KITA LALUI SEMUANYA BERSAMA-SAMA

SELAMAT MEMBACA, PARA KESAYANGAN IPDA GHAZI DAN HUMEYNYA ABANG

Saat kita terlalu dalam mencintai bagian dari dunia, kita harus siap menanggung duka cita berupa kehilangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat kita terlalu dalam mencintai bagian dari dunia, kita harus siap menanggung duka cita berupa kehilangan. Allah ingin mengartikan pada kita, bahwa dalam setiap doa yang terijabah, ada hadiah ada juga ujian.

____________________

Deru nafasnya bercampur dengan suara sirine ambulan memekakkan telinga. Dzikir terus terucap dari bibir yang bergetar, ia memakai tangan sang istri sebagai penghitung. Di antara lumuran darah yang mulai mengering dan dingin menjalar. Pucat. Air matanya menurun terus-terusan membasahkan lagi darah.

Sebilah pisau cukup panjang teronggok di wadah alumunium. Dengan seluruh kekuatan dan keyakinan, pria itu meminta pada petugas medis agar dia sendiri yang menariknya dari perut sang istri. Ceceran darah mewarnai baju dan lengannya. Tidak peduli! Mau bagaimanapun kotornya ia, rasa sakit wanitanya lebih kejam membentuk ingatan buruk. Bukan main tergores hatinya, ia seperti ikut tertusuk juga.

Ya Rabb ... doa siapa ini? Engkau cabut bahagia dalam sekali kedip mata.

"Bertahan, Adek ... bertahan ... Abang mohon ... Adek perempuan kuatnya Abang, Adek Bunda yang hebat buat Twin, Abang mohon ...."

"Detak jantung mulai turun—"

"Berapa lama lagi sampai? JAWAB!" sentak Ghazi. Dua pria dalam ambulan itu terkesiap. "JAWAB!"

"Sudah sampai, Pak. Harap Bapak tenang."

Pintu ambulan terbuka, dua petugas medis itu sigap memindahkan Giska pada bangsal IGD. Tak sedikitpun Ghazi tinggalkan tautannya dari jemari tak berdaya Giska. Ia rapuh, sebenar-benarnya rapuh.

Seorang wanita berjas putih merentangkan tangannya. Mata wanita itu juga menyimpan gundah luar biasa. Antara sadar dan tidak air matanya menurun teratur.

"Umma— Giska ... Umma—" Ghazi hampir saja terjatuh jika Shafira tak sigap menopangnya.

"Sabar, Abang ... sabar ... yakin Allah angkat derajat kalian setelah ini," ucap Shafira dengan usapan lembut di punggung putranya.

"Abang akan kehilangan siapa, Umma? Giska atau— anak-anak Abang?"

Shafira kelu. Tatapannya menuju pada Giska di ruang tindakan. Sekalipun ia dokter, ia tetap tak bisa menentukan hidup dan mati seseorang.

QUADRANT : Menjadi Seperempat Bagian TakdirkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang