بسم الله الر حمن الر حيم
Untuk membangun keluarga yang diridhoi, tahapannya dimulai sejak mencari calon istri. Dia yang akan membangun peradaban, penentu baik tidaknya suatu generasi.
____________________Berjarak satu meter bayangan dirinya dan seorang pria berdampingan. Tidak ada yang menarik penglihatannya selain pada bagian bawah rok hitamnya yang berkibar-kibar. Bayangan mereka timbul dan tenggelam, matahari kadang muncul kadang tertutup awan. Dinilai mendung, namun diprediksi tak akan hujan.
“Belok …” ucap orang di sebelahnya dengan langkah menjauh menuju kiri. “Udah tau baru pertama kali ke wilayah Korps tapi gak liat-liat jalan.”
Pria itu memakai baret birunya ketika mendekati aula. Langkah Giska seirama dengannya dari belakang, meski sambil merapatkan gigi, geram dengan Ghazi. Di sekitar mereka beberapa pasangan juga menunggu sidang dimulai. Giska lihat lagi dirinya sendiri, bergantian memandang pria tegap berseragam hitam di depannya. Ia menghembuskan nafas.
“Ada keperluan apa sampai gue bisa ada di sini? Jauh juga mainnya, Giska ….”
“Saya dengar,” sahut Ghazi. Jalannya berhenti menunggu Giska menyusul di samping. Dirasa aroma cherry sudah dekat, senyumnya terulas. “Ini bukan satu-satunya wilayah kerja saya, Giska. Tapi yang saya bawa kesini sekarang adalah satu-satunya wilayah hati saya.”
“Abang gak malu? Gak ada jaim-jaimnya sama sekali!” sengit Giska dengan mata yang kian melebar.
Mata Ghazi berkeliling disertai kekehan, telunjuknya menggaruk bagian alis. “Kamu jangan bilang saya tebar pesona lagi.”
“Gak perlu dibilang, kelakuan Abang dari awal menunjukan Abang itu—”
“Ghazi,” tegur seorang pria gagah bersama perempuan memakai seragam Bhayangkari.
Ghazi mengangkat tangannya memberikan hormat.
“Akhirnya kamu sidang nikah hari ini.”
“Siap, Ndan.”
“Sebetulnya saya agak berat sidang kamu, calonnya orang lain,” ucap Wisnu dengan senyum kecil.
“Izin, Ndan! Ini calon istri saya. Saya tidak ragu sama dia.”
Wisnu tertawa. “Paham … santai lah Ghazi, saya cuma bercanda. Yah … namanya bukan jodoh, gimana lagi?” Ia melirik jam tangan kemudian menepuk bahu Ghazi. “Lima menit lagi dimulai.”
“Siap, Ndan.”
“Abang!” Giska sedikit berbisik.
Ghazi yang sudah memasuki aula kembali menoleh ke belakang. Alisnya terangkat satu. “Bilang kalau minta ditungguin.”
KAMU SEDANG MEMBACA
QUADRANT : Menjadi Seperempat Bagian Takdirku
SpiritualBagaimana jika ternyata tukang kacang tiba-tiba mengungkap kasus muncikari? Hidup Agiska Humaira sudah penuh tekanan karena sosok Ibu yang tak bisa ia jadikan surga. Ditambah pula kejadian penangkapan yang sekaligus membuatnya mengetahui fakta bahwa...