Mencari obat dari luka fisik itu mudah, tapi mencari obat untuk luka batin, itu yang susah.
____________________
Daun jati yang meranggas berserakan di sepanjang jalanan sepi itu. Langkah kaki menyusuri setapak demi setapak hanya ditemani penerangan redup dari beberapa lampu kecil yang terpasang di antara pepohonan. Tak ada yang melintas lagi. Bayangan dua orang pria jelas terlihat dari batang besar jati. Satu pria mendorong motor, sarung yang semula membuatnya gagah bersanding dengan koko, disampirkan ke kepala menutupi hembusan angin. Pria lain merapatkan jaket, tak lepas Al-Kitab ia peluk di dada.
"Makanya saya bilang kamu gak usah tungguin saya selesai tabligh," kata Ghazi setengah mengomel.
"Ya niat saya sih nebeng, gak akan ngira ban motor Abang ketusuk paku. Lagian lokasi misa sama masjid tempat Abang tabligh kan gak jauh. MRT lagi padet," kilah Azmi.
"Mending padet daripada kayak gini, kamu mau nyasarin saya apa gimana?"
Pandangan Azmi mengedar. Lama juga ternyata mereka berjalan, tak juga sampai jalanan besar. "Saya yakin ini rute tercepat ke Kesatrian."
"Yakin ... yakin ... emangnya kamu pernah lewat sini?"
"Ng-gak juga, Bang. Feeling aja."
Ghazi menghembuskan nafas pasrah. Materi kesabaran yang disampaikan Habib, sulit ia praktikkan jika situasinya seperti ini. "Kamu tau gak kalau daerah ini rawan begal?"
"Tau, bahkan saya liat berita ada perempuan meninggal selepas pulang kuliah lewat jalan ini," jawab Azmi seakan tak ada takutnya sama sekali.
"Azmi."
"Siap, Bang."
"Saya percaya Tuhan."
"Siap, saya juga percaya, Bang."
"Ini bukan saya takut sama dunia astral ya, tapi saya lebih ke waspada."
"Siap, Bang. Saya tau. Kalau ada apa-apa saya siap lindungi Abang." Azmi menunjukkan Injilnya. "Saya baca ini, Abang baca ayat kursi. Mau yang datang makhluk halus atau bisikan halus begal, kita lawan pakai Tuhan."
Sulit ditampik, Azmi benar juga. Ghazi mengangguk-angguk. Mereka kembali berjalan menyusuri deretan kebun jati yang cukup luas. Binar mata mereka terpancar, di depan sana sudah terlihat pemukiman penduduk dengan gapura selamat datang yang masih terhias sisa 17-an.
"Bener kan Bang? Feeling saya ini cukup kuat. Terlatih sebagai Pelopor handal," tutur Azmi bangga.
Ghazi tak berpendapat, sudut matanya menangkap sesuatu. "Haduh ..." katanya dengan malas.
"Kenapa, Bang?"
"Arah jam 11."
Azmi melirik sedikit. Ada bayangan tambahan selain mereka dari jajaran pohon. "Di tembok jembatan juga, Bang," ucapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
QUADRANT : Menjadi Seperempat Bagian Takdirku
SpiritualBagaimana jika ternyata tukang kacang tiba-tiba mengungkap kasus muncikari? Hidup Agiska Humaira sudah penuh tekanan karena sosok Ibu yang tak bisa ia jadikan surga. Ditambah pula kejadian penangkapan yang sekaligus membuatnya mengetahui fakta bahwa...