Jika takdir layaknya garis lengkung membentuk lingkaran, maka untuk takdirku bentuk garisnya terasa tidak beraturan.
____________________
Kepulan asap mengepung indera penciuman. Harum. Asalnya dari gerobag-gerobag penjual makanan. Beberapa kali klakson motor memanggil pembeli yang berkerumun di sisi penjaja agar tidak terlalu ke ruas jalan. Kondisi jalan utama bisa dibilang seperti mesin waktu, sejak matahari terbit sampai hampir condong ke Barat, ramai luar biasa. Pegawai kantor pajak, warga gang-gang, dan anak-anak sekolah usia dini. Namun begitu matahari bergerak tak nampak, jalanan senyap berangsung-angsur. Jelas kantor dan sekolahan sudah tutup. Hanya ada beberapa pedagang yang masih kuat bertahan mengharap rezeki, mungkin ada warga yang akan membeli makanan sebagai penyelamat keroncongan di malam hari.
Sinar keemasan mengkilau terpantul dari pemilik bola mata besar itu. Dirinya sengaja memilih duduk tepat menghadap semburat jingga. Masih terasa hangatnya di wajah. Di antara banyak objek pandang, pelupuknya memberat mendapati seorang Ibu dan anak kisaran tujuh tahun singgah dari penjual satu ke penjual lain. Si anak membawa mikrofon sedang si ibu membawa mini sound. Terputar senandung sholawat yang kemudian dilantunkan anak perempuan itu. Merdu. Wajah berpeluh mereka terhias senyum, tidak terasa sedikitpun lelah. Antara bersyukur dengan pemberian receh demi receh dan kekhawatiran tentang esok hari, lebih banyak rasa syukur yang tercetak.
"Jangan pergi! Kalau Ibu gak mau ada Giska, biar Giska yang pergi. Ibu jangan kemana-mana! Seenggaknya Giska tau harus temui Ibu dimana!"
"Lu gak denger apa yang gue bilang? Lu gak usah cari gue lagi!"
"Gimana bisa Giska gak cari Ibu kalau surga Giska ada di Ibu!" sentak Giska tak kuat lagi menahan emosi. Air matanya sudah tumpah ruah. "Jangan pergi, Bu. Giska mohon ... kemana lagi Giska harus cari surga? Ayah udah gak ada, Giska gak punya siapa-siapa selain Ibu!"
"Giska gak mau kehilangan Ibu jug—"
PLAKK!
"Cari surga lu di lain tempat! Bukan gue orangnya! Gak ada surga buat lu dari gue!"
Helaan nafasnya perih. Sesak di dada masih kian membumbung seperti kumpulan asap di udara. Hilang rupanya namun tidak dengan partikel dan aromanya. Keberuntungan Giska terputus semenjak hilangnya peran Ibu. Diawal usia Giska memasuki 18 kala itu, kepergian Ayah secara mendadak menghancurkan sebagian cita-citanya. Sejak saat itu pula, Agiska 18 tahun menyadari ada sesuatu yang salah dengan Ibunya. Tak pernah Giska pahami bagaimana asal mula, perilaku aneh Dinda kian hari kian membuat Giska merasa tak lagi punya orangtua. Jangankan berharap dilindungi, dibersamai pun hampir tidak pernah. Entah apa keperluan Dinda hingga sampai Agiska 18 tahun bertumbuh menjadi gadis cantik 21 tahun, wanita setengah baya itu tak peduli dengan putrinya. Pergi lama, hilang kabar, tak pernah tahu tepatnya dimana, pulang sebentar, membentak Giska, kemudian pergi lagi. Selalu seperti itu sampai Giska tidak ingat kapan terakhir kali Dinda memanggilnya dengan lembut atau mengelus kepala Giska penuh perhatian, seperti kasih Ibu kepada anak pada umumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
QUADRANT : Menjadi Seperempat Bagian Takdirku
SpiritualBagaimana jika ternyata tukang kacang tiba-tiba mengungkap kasus muncikari? Hidup Agiska Humaira sudah penuh tekanan karena sosok Ibu yang tak bisa ia jadikan surga. Ditambah pula kejadian penangkapan yang sekaligus membuatnya mengetahui fakta bahwa...