﷽
Hidup di dunia itu tidak perlu banyak gaya. Nyamuk yang diam hinggap saja bisa mati sekali tepukan. Apalagi manusia yang berjalan penuh keangkuhan.
____________________
Jangan salahkan dirinya jika sampai lapangan, pertandingan sudah dimulai. Di jam tangannya, jarum panjang sudah miring ke kanan sejauh 15 menit. Ketepatan waktu Giska akan menjadi gunjingan hebat biang keladi yang membuatnya terlambat. Dalam hatinya sejuta omelan tertuju pada Si Terpaling Julid. Cukup menyesal dirinya menolak mentah-mentah tawaran Ghazi untuk diantar. Beberapa kali ia salah ambil arah, berputar-putar mencari lapangan voli Kesatrian.
"Ini kalau gue gak mikirin nasib hidup Abang males banget gue ngikut-ngikut beginian!"
Peluh membasahi keningnya, topi yang dipakai akhirnya ia lepas, membiarkan ubun-ubun berlapis hijab sport terkena sengatan matahari hampir tinggi. Akhirnya ia menemukan tujuannya dimana para wanita sudah berkumpul menyelaraskan diri mengikuti peregangan yang dipandu wanita berwajah kearaban.
Jelas dirinya jadi pusat perhatian. Wanita berambut sebahu dengan langkah cepat menuju Giska lantas menariknya.
"Agiska! baru aja udah terlambat kamu! Kalau bilang jam sepuluh ya jam sepuluh! Di sini gak ada budaya ngaret!" cecarnya tanpa tedeng aling. "Pakai item-item lagi! Kamu mau ngelayat?"
Giska menahan diri untuk tidak naik pitam saat itu juga. "Mbak katanya mau samper saya? Jadi saya tungguin Mbak," ucapnya senormal mungkin.
"Kamu itu harusnya bisa mandiri, jangan segala barengan terus!"
"Kan saya baru Mbak di sini, belum hafal. Wajar kan?"
Melia mendesis, matanya hampir keluar. Mungkin ia akan menjitak Giska jika tidak ada seorang wanita berwajah kearaban menghampirinya.
"Suara kamu itu melengking, Melia. Gak sadar yang lain liatin kamu?" kata wanita itu. Ia tersenyum pada Giska dan mengulurkan tangannya, meminta berjabat hangat. "Saya tau Adek istrinya Ipda Ghazi, Mbak datang juga ke pernikahan kalian. Nama Mbak, Kiara."
Giska mencoba mengingat-ingat, sesaat ia tersadar lantas segera membalas jabatan tangannya. "Ibu— Dan ... pas? Saya— Agiska. Maaf sedikit lupa, Ibu."
Kiara terkekeh. "Aduh ... gak usah bawa-bawa suami deh, kalau sekarang lagi main-main, kita sesama Bhayangkari cukup panggil Mbak atau Adek aja, Bhayangkari itu saudara."
"Seenggaknya biar dia tau aja, Mbak. Ngerti sedikit lah minimal ada atasan bawahan," sengit Melia, matanya tak lepas menerjang Giska. "Kok saya gak kamu undang ke nikahan? Kalian nikah diam-diam?" tuduhnya seketika membuat kepalan tangan Giska menguat.
"Melia, kamu kalau bicara suka aneh-aneh ya?" tegur Kiara. "Maaf ya Agiska? Anggap aja ucapan selamat datang."
"Selamat datang—" Giska tertawa miris dalam hati. Selamat datang yang langsung bikin orang kabur lagi yang ada!
KAMU SEDANG MEMBACA
QUADRANT : Menjadi Seperempat Bagian Takdirku
SpiritualBagaimana jika ternyata tukang kacang tiba-tiba mengungkap kasus muncikari? Hidup Agiska Humaira sudah penuh tekanan karena sosok Ibu yang tak bisa ia jadikan surga. Ditambah pula kejadian penangkapan yang sekaligus membuatnya mengetahui fakta bahwa...