Pria jangkung nan tampan itu melihat sekumpulan kabut gelap di atas kepala berarak ke Selatan. Angin dingin bertiup kencang seakan pertanda hujan lebat siap jatuh. Gerimis masih senantiasa mengalir, tidak membiarkan orang yang menunggu sepertinya pergi dari tempat itu.
Dia tidak punya pilihan selain terus berdiri menunggu adiknya datang untuk menjemput. Beberapa menit yang lalu ketika dia meminta untuk dijemput oleh Roy, adik laki-lakinya menyanggupi. Jadi, pria itu menunggu di sini, di dekat gerbang masuk perusahaan tempatnya bekerja.
Awalnya, dia ingin naik kendaraan umum seperti biasa setelah melihat cuaca yang tidak bersahabat dan tanda-tanda hujan mulai membuatnya khawatir. Akan tetapi nomor ponsel adiknya tidak dapat dihubungi, hingga dia tidak bisa memberitahu Roy agar tidak perlu datang. Ia tidak mau berlama-lama menunggu di pinggir jalan layaknya sekarang, di mana di setiap waktu terdapat banyak orang berlalu lalang di depannya.
Bersamaan dengan gerimis yang mulai jatuh secara berkala, pria itu akhirnya memutuskan untuk pindah tempat untuk meneduh. Dia tak berharap bahwa tindakannya barusan, membuat dia melihat sesuatu yang seharusnya tak perlu dilihat.
Di seberang jalan, seorang wanita masuk ke dalam restoran dengan langkah terburu-buru. Itu adalah wanita yang sangat dirinya kenal, bagaimana tidak, bila separuh dari hidupnya dia peruntukkan untuk mencintai wanita itu secara diam-diam.
Aldebaran merapatkan jaket selututnya tatkala angin dingin kembali berembus. Ia tidak lagi melihat punggung Andin yang telah dihela masuk oleh Nino ke dalam restoran. Senyum miris kemudian tersungging di bibirnya saat dia diingatkan kembali akan lukanya.
"Ini baru setahun," pikirnya, "Dan aku masih menjadi pria tolol yang mengharapkan kau tidak bersama pria itu."
Satu tahun yang lalu, di sebuah kafe.
Andin mematut penampilannya lagi dan lagi di cermin toilet wanita. Ia merasa gugup akan fakta bahwa sebentar lagi dia akan memberi kejutan pada sahabatnya.
Drrt! Drrt!
Bunyi getar ponsel dari dalam tas menyentak gadis itu. Ia mengeluarkan ponselnya dan nama sang sahabat tertera di layar.
"Kau sudah tiba?" tanyanya senang, kentara sekali dari wajahnya yang berseri kalau dia sudah tak sabar ingin berbagi kebahagiaannya. "Tunggu sebentar, aku akan keluar sekarang. Aku sedang berada di toilet."
Setelah sambungan terputus, Andin keluar dari kamar mandi. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan menemukan sahabatnya telah mengambil duduk di dekat jendela. Itu merupakan tempat favorit mereka selama sepuluh tahun menjalin persahabatan.
"Al, kau datang." Sambutnya disertai senyuman lebar.
Pria tampan yang dipanggil itu menarik pandangannya dari melihat ke luar, "Baru saja. Aku langsung datang kemari setelah kau mengirimku pesan. Kau bilang ada yang mau kau beritahukan kepadaku, apa itu?"
Sebelum menjawab pertanyaan Aldebaran, Andin lebih dulu berkata, "Bagaimana kalau aku pesankan minuman kesukaanmu? Kau sudah makan atau belum?"
"Tidak perlu, sebelum kemari aku baru selesai makan bersama Rendi." jawabnya menolak halus. Ia menatap lekat wajah cantik gadis di depannya. Tak peduli berapa lama mereka saling kenal, paras ayu ini tak pernah membuatnya bosan.
Tatapan lembut yang sanggup meluluhkan hati wanita manapun itu sayangnya tak disadari oleh Andin. Di kala Aldebaran mencoba menyembunyikan debaran jantungnya yang kini berdebar gila-gilaan, Andin justru melakukan sebaliknya.
Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas, lalu secara perlahan, disertai senyum seringai yang menunjukkan perasaan bahagia, Andin menaruh sebuah kotak kecil persegi berwarna navy itu di atas meja.
Dengan raut bingungnya, Aldebaran menatap pada Andin, "Apa ini?"
"K-Kau boleh membukanya." katanya gugup.
Cincin? Al nampak tertegun. Harapan seketika melambung tinggi. Namun, sebelum dia bertanya lagi maksud dari adanya cincin itu, Andin telah lebih dulu bicara.
"Nino baru saja melamarku."
Nino baru saja melamarku. Seolah ada petir menghantam pendengarannya, senyum cerah yang mulanya terbit di wajah tampan Aldebaran perlahan berubah kaku lalu sepenuhnya menghilang.
"Al, dia benar-benar serius. Kau percaya kan sekarang? Buktinya, dia sungguh-sungguh ingin menjalin hubungan denganku."
"Andin, tapi dia...."
"Al, dengar," Andin menatap lekat sepasang mata coklat milik pria itu yang kini nampak tak bernyawa, "Aku tahu kau tak pernah suka dengan Nino. Sejak dia hadir dalam lingkaran pertemanan kita, aku sadar kalau kau keberatan dengannya. Aku tidak mempermasalahkan kau yang begitu. Tapi, Al, kali ini penilaianmu tentang Nino salah. Dia tulus mencintaiku. Kau bahkan telah melihatnya sendiri kan bagaimana dia menjagaku dalam dua tahun terakhir ini?"
Andin berusaha meyakinkan sahabatnya, agar mengubah pandangannya yang buruk terhadap Nino. Bagaimanapun, harapannya agar kedua laki-laki ini berteman akrab tak pudar. Aldebaran adalah pria selain ayahnya yang paling dia sayang, paling berarti dalam hidupnya. Sedangkan Nino merupakan kekasih yang dicintainya, ia berharap agar kedua lelaki ini akur, agar dia tidak merasa goyah setiap kali harus memilih untuk bersama siapa menghabiskan waktu.
"Bagaimana dengan aku yang memberitahumu kalau dia pernah terlibat dengan wanita lain? Apa perkataanku yang ini tidak kau percaya?"
"Nino mengakuinya, jujur aku juga marah padanya waktu itu, tapi dia sudah menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Dia dijebak, Al. Maka dari itu adegan ciuman itu terjadi. Aku percaya padamu dari awal, kau tahu itu, kan?"
"Dan kau masih memaafkan pria seperti itu? Kalau itu aku ...." ucapan Al tidak berlanjut, malah tercekat di tenggorokan saat dia sadar bahwa tak ada artinya sama sekali pengakuannya kini.
___ Aku tidak akan pernah menyakitimu!
Aldebaran bangun dari duduk. Sontak saja aksinya itu membuat Andin terkejut dan tatapan kecewa langsung terlihat.
"Al, tunggu, kenapa? Apa lagi sekarang?"
Namun Aldebaran yang merasakan patah hati dan juga marah tidak mau mendengarkan panggilan itu, tidak sanggup melihat wajah kecewa itu.
Andin tidak menyerah menyusul sahabatnya pergi. Sampai mereka berada di luar restoran, di pinggir jalan dan gerimis tiba-tiba turun, Andin berhasil menyamai langkah, lalu mencekal tangan kuat nan kokoh itu.
"Jangan begini, tolong. Aku tidak mau kita bertengkar lagi. Kau tahu bagaimana aku sangat bergantung dan percaya padamu 'kan?" tanyanya dengan sepasang mata memerah.
Aldebaran bisa saja menyentak tangan Andin supaya tidak menghalangi langkahnya, tapi tidak dilakukannya karena alasan tak mau bersikap kasar pada wanita yang dicintainya.
Sayangnya kali ini dia tidak bisa. Dia tidak bisa berpura-pura sabar seperti sebagaimana sebelumnya dia melihat Andin dan Nino bersama.
Menikah?
Kenyataan ini terlalu menyakitkan. Hatinya tidak siap, dia tidak siap sama sekali!
"Kumohon, hanya kau orang pertama yang kuberitahu mengenai berita ini. Papa dan mama belum tahu, hanya kau saja, Al." ujarnya lagi dengan suara bergetar. Mati-matian dia menahan tangis ketika pria yang dicegatnya agar tidak pergi tidak jua berbalik menghadapnya.
"Andini," panggil Aldebaran dengan suara rendah. "Ini menyakitkan, sungguh."
Walau dia mengatakannya dengan nada rendah, tapi Andin masih bisa mendengar dengan jelas.
"Apa?"
Aldebaran berbalik, dengan sepasang mata yang berkaca-kaca ia menatap sayang dan penuh luka pada wanita di depannya. "Maaf, tapi aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi."
Sebelum Andin dapat mencerna maksud perkataannya, ciuman keras jatuh di atas mulutnya.
🦋🦋🦋
Katanya, cinta dapat membunuh. Sepertinya itu benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
KESETIAAN SEORANG WANITA (TAMAT)
FanfictionMendapati suaminya sendiri berselingkuh dengan adik tirinya, Andin merasa hatinya hancur berkeping-keping. Ia akhirnya percaya, bahwa peringatan Aldebaran - sahabat tersayangnya - benar. Namun semuanya telah terlanjur terjadi, ia telah memilih melep...