.
.
."Saya datang untuk menawarkan diri."
"Tidak ada yang perlu kau tawarkan padaku, dan aku pun tak sudi menerima sesuatu darimu."
Andin terus berjalan mendekat. Kebencian yang tampak jelas itu berhasil membuat dadanya bergetar pilu. Namun dia terus bertahan, berdiri di depan Rossa dengan sikap berani dan pantang menyerah.
"Saya akui kesalahan saya selama ini."
"Keluar!" Rossa berkata dingin. Tetapi Andin bergeming.
"KELUAR!"
Andin langsung menjatuhkan dirinya, kedua lututnya tertekuk dan langsung menghantam lantai dingin di bawahnya. Rasa sakit langsung meletus di kedua lutut namun dia menggertakkan gigi menahan suara rintihannya agar tidak keluar. Sedangkan satu tangannya yang masih dipegang oleh Martin otomatis ikut ditarik juga ke bawah.
"Saya tidak akan pergi sebelum Anda mendengar tawaran saya, Nyonya Rossa." ucapnya dengan suara memohon.
.
.
.Andin menatap lekat pada Rossa yang kini mau menghadapnya. "Jika hal itu bisa membuat Anda mau menerima saya dan tidak lagi memaksa Al untuk melakukan hal-hal yang tidak dia sukai, saya bersedia membantu Anda."
Rossa menatap lama pada wajah Andin. Mencari celah dalam raut wajah sungguh-sungguh itu apakah ada tanda-tanda kemunafikan di sana seperti di masa lalu atau tidak.
***
Dua jam kemudian, setelah dia lama menunggu di sana seorang diri, dia mendengar suara pintu di buka. Dan sosok Al yang telah ditunggunya berdiri tak jauh darinya.
Kedua orang itu saling menatap satu sama lain. Ada kerinduan yang terakumulasi selama bertahun-tahun dan juga kerinduan yang terasa asing. Sepertinya, waktu memang telah lama berlalu sampai-sampai membuat mereka merasa bahwa hanya dengan saling menatap begini, kerinduan itu dapat tersampaikan.
.
.
."Aku merindukanmu. Makanya aku datang."
"Kau masih blak-blakan seperti biasa." ucap Al mengerutkan hidungnya karena malu.
"Aku hanya menyatakan apa yang aku rasakan. Aku merindukanmu setiap saat, setiap menit selama aku sadar."
"Bisakah kau menahan diri sebentar?" kata Al sambil menutup wajahnya yang terasa panas. Baru kali ini dia merasa kewalahan dalam menghadapi perempuan. Terutama Andin yang ia tahu memang mempunyai sifat berterus-terang.
"Apa kau malu?" Goda Andin menggeser duduknya semakin dekat dengan Al yang masih menunduk dan menutupi sebagian wajahnya.
"Tidak." kata pria itu berbohong.
"Benarkah?"
Hening yang lama menjebak mereka saling beradu pandang.
Andin meletakkan tangannya di sisi rahang Al saat dia dengan penuh harap menatap lama pada bibir yang telah lama menarik perhatiannya. Dan seolah menyadari ke mana Andin melihat, Al bergumam serak memberi peringatan. "Jangan memancingku."
KAMU SEDANG MEMBACA
KESETIAAN SEORANG WANITA (TAMAT)
FanfictionMendapati suaminya sendiri berselingkuh dengan adik tirinya, Andin merasa hatinya hancur berkeping-keping. Ia akhirnya percaya, bahwa peringatan Aldebaran - sahabat tersayangnya - benar. Namun semuanya telah terlanjur terjadi, ia telah memilih melep...