BAB 6 - BIMBANG MENENTUKAN PILIHAN

203 24 0
                                    

Kedatangan Nino Sore itu ke rumah Surya mengejutkan. Pasalnya tidak ada pemberitahuan dan tiba-tiba lelaki itu kini duduk di sofa ruang keluarga.

Andin baru saja pulang dari bekerja ketika didapatinya sang calon suami berada di rumahnya. 

"Kau tidak mengabari aku kalau mau ke sini? Tidak ada pekerjaan kah?" tanyanya seraya mengambil duduk di sebelah Nino.

Saat ciuman mendarat di kening, Andin tanpa sadar menutup mata. Sesudahnya, kedua orang itu tersenyum satu sama lain

"Tidak bolehkah aku kemari tanpa memberi kabar? Aku ingin memberimu kejutan."

"Yeah, dan kau berhasil membuatku terkejut." jawab Andin seraya menyandarkan kepalanya di bahu Nino.

"Dan aku lah bosnya, sayang. Terserah aku mau libur bekerja atau tidak. Aku hanya terlalu merindukanmu. Makanya aku datang. Beruntung sekali kau sudah berada di rumah, jadi aku tak perlu menunggu sendirian lama-lama." ujarnya lagi dengan nada sombong, membuat Andin tertawa ketika melihat raut wajahnya yang menyebalkan namun masih tampan. 

Tanpa sepengetahuan Andin, Nino mengedarkan pandangannya sekeliling, seolah-olah sedang mencari sesuatu. Dan di atas sana lah dia menemukan apa yang sedang dia cari. Wanita itu, bersandar santai di teralis besi di lantai atas, menatap padanya dengan senyuman yang tak pernah bisa dilupakannya.

Andin tak pernah tahu, bahwasanya lelaki yang akan menjadi suaminya merupakan mantan kekasih dari adik tirinya sendiri. Kedua orang itu seolah sepakat tanpa kata ingin merahasiakan hubungan di masa lalu dari diketahui Andini.

"Jadi bagaimana dengan gaun pengantinnya? Kau sudah menetapkan pilihan?" 

Bahkan saat dia menanyakan itu, tatapannya terus tertuju pada wanita di lantai atas.

Andin menguap, tiba-tiba merasa ngantuk. Mungkin karena dia disibukkan dengan pekerjaan serta persiapan pernikahan, ia tak punya banyak waktu beristirahat.

"Mama yang pilihkan, aku menurut saja."

"Kau suka atau tidak? Kalau tidak, kau bisa mengubahnya sebelum acara kita hampir mendekati." ujar Nino perhatian seolah yang terpenting di sini adalah keinginan Andin.

Andin mengulas senyum, merasa hangat hatinya karena perhatian kecil itu. "Tidak apa-apa, toh pilihan mama Sarah sama bagusnya."

"Sepertinya aku perlu ke kamar mandi." ujar Nino tiba-tiba.

"Pergi saja, kau kan sudah tahu letak kamar mandinya di mana." kata Andin seraya mengangkat kepalanya dari posisi bersandar.

"Bisakah aku pinjam toilet kamarmu? Tiba-tiba perutku mulas."

Andin mengangguk, "Kamarnya tidak dikunci, kau bisa langsung masuk saja. Jangan-jangan kau salah makan sesuatu. Mau aku buatkan minuman hangat?" tawarnya mulai khawatir. Pasalnya, Nino jarang sekali mengutarakan pikirannya dan tak mau pula terlihat lemah didepannya. Bila, Nino sekarang ini memberitahunya seperti itu, ia khawatir prianya ini betulan sakit.

"Boleh, selama tidak merepotkan kesayanganku ini. Terima kasih."

Andin bangun, lalu pergi ke dapur sedangkan Nino menaiki tangga ke lantai atas di mana kamar Andin berada. Sesampainya dia di sana, bukannya pintu kamar Andin yang dibukanya, melainkan pintu lain yang ada di sebelah kamar Andin yang dia buka. Itu adalah kamar Elsa. 

Elsa nampaknya tidak terkejut dengan kedatangan Nino ke dalam kamarnya. Terbukti dengan wanita itu yang masih duduk santai di sofa di dalam kamar. 

"Kau cukup berani datang kemari saat kakakku berada di rumah." Elsa mengejek dengan senyum seringai. 

"Apa yang kau lakukan di sini?" Nino mengabaikan ejekan itu dan langsung menyuarakan keberatannya. 

Suara tawa renyah kemudian terdengar, "Ini rumahku, kenapa aku tidak boleh berada di sini?" 

"Bukan itu maksudku!" ujar pria itu hampir membentak, "Kau tak seharusnya pulang, Elsa. Akan lebih baik kalau kau terus berada di sana, tak usah kembali! Aku muak hanya dengan melihatmu berkeliaran di depan mataku!"

Walau kalimat hinaan terlontar dan ditujukan padanya, Elsa menanggapinya dengan acuh tak acuh. 

"Kenapa aku merasa kau malah merindukan aku, El Nino Prasetya? Muak kau bilang?" tanyanya seraya tergelak, seolah merasa lucu. 

"Kau harus bercermin dan lihat matamu ... kau masih menginginkan aku!" ucapnya penuh penekanan di setiap kalimat yang diucapkan. 

Elsa lantas berdiri, berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan laki-laki yang menjadi alasannya pergi dari Indonesia. Tak bisa dipungkiri kalau dia masih menyukai pria di depannya ini. Sampai sekarang pun, Nino adalah satu-satunya pria yang membuat dia lemah dan tak bisa dengan mudah melupakan. 

Tangannya kemudian terulur, mendarat di dada Nino yang dibalut kemeja, "Aku benar, kan?" tanyanya seraya mengangkat kepala. 

"Aku mengenal betul dirimu. Dan saat ini, aku tahu kau belum bisa melupakan aku, melupakan cinta kita berdua." lanjutnya lagi dengan suara rendah. 

Tubuh pria itu bergetar, rahangnya mengeras karena kebenaran kata-kata Elsa. Bagaimanapun, perkataan mantan kekasihnya tidak salah. Ia belum bisa melupakan perasaannya terhadap wanita ini. Setiap kebersamaan dan lamanya waktu yang mereka habiskan dulu, begitu berarti baginya. 

Bahkan meski dia telah disakiti, dikhianati dengan cara kejam oleh Elsa, dia tak bisa menampik perasaan cinta itu tetap ada. Cinta itu kini berbalut perasaan benci yang mendarah daging, untuk wanita di depannya ini. Dia ingin menghancurkan sekaligus ingin merengkuh kembali cinta ternoda itu meski saat dia melakukannya, dia harus menyakiti satu sama lain. 

"Aku senang karena kau tidak bisa melupakan aku, karena aku pun sama. Tapi, aku juga kecewa dan sakit hati karena pilihan yang kau buat sekarang. Apa dengan menikahi kakak tiriku dapat membuatmu puas membalas dendam padaku?" 

Elsa memenyandarkan kepalanya di dada Nino, mendengarkan detak jantung pria itu yang kini berdegup kencang. Posisi ini merupakan favoritnya tatkala dia butuh ketenangan. 

"Aku mungkin telah melakukan kesalahan, tapi aku sudah menjelaskannya padamu dan adalah pilihanmu memercayai aku atau tidak. Namun yang pasti, dari dulu hingga sekarang, pria yang paling aku cintai adalah dirimu. Fakta itu tak akan pernah berubah walau kau sudah menetapkan pilihan menikahi kakak tiriku." 

Diiringi pelukan erat seolah menyatakan ketergantungannya, air mata kemudian jatuh. 

Nino dapat merasakan gemetar tubuh Elsa yang kini memeluknya. Bahkan dalam situasi ini, dia masih merasa lemah tiap kali melihat wanita ini menangis. Seakan tangisan pihak lain berhasil menjadi pisau tajam yang membelah jantungnya sendiri, merobek-robeknya menjadi sangat menyakitkan. 

Tangan pria itu terangkat ragu-ragu, ingin memeluk kembali dan menenangkannya tapi alasan lain menyadarkan dia bahwa keadaan ini salah. 

"Aku terlalu sakit, Elsa. Kau terlambat menjelaskan dan yang bisa kulakukan adalah melarikan diri." desahnya terdengar lemah. Hanya di depan wanita ini, ia bisa menjadi dirinya sendiri, tidak keberatan menunjukkan kelemahannya. 

Wanita itu terisak, pelukannya semakin mengerat dan gumaman serak terus diulangnya, "Aku merindukanmu. Selama ini aku merindukanmu, tapi aku takut untuk mendekatimu lagi walau aku hampir mati karena tidak bisa melihatmu lagi. Dua tahun, dua tahun tidakkah cukup membuatku menderita? Dan sekarang, kau malah menorehkan luka lain padaku!"

"Saat aku mendengar kau menjalin hubungan dengan Andin, aku sakit hati, aku kecewa, Nino. Tetapi, aku terus berpegang teguh dengan berpikir kau melakukan itu hanya untuk pelampiasan, untuk membalas dendam padaku, jadi aku tidak berbuat apa-apa. Aku membiarkan kau melakukan apa pun sesukamu. Tapi, pernikahan?" 

Nino tidak peduli dengan kemejanya yang kini basah karena tangisan mantan kekasihnya itu. Ia justru menampakan muka linglung karena kembali diingatkan kebersamaan mereka dahulu. 

Kemesraan itu serta perasaan cinta yang mereka bagi. Kehangatan yang ditawarkan wanita ini dalam masa-masa rentan hidupnya, ia kecanduan. Dari dulu sekali, wanita inilah yang menjadi candunya, alasannya untuk bernapas. Dan sekarang, hatinya mulai bimbang. 

Benarkah pilihannya menikahi Andin?

KESETIAAN SEORANG WANITA (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang