10. Neighbor

204 32 2
                                    

Ruzeline terbangun dari tidurnya ketika merasakan lonceng Kedai Nenek terus berbunyi. Ia lalu turun ke bawah, melihat siapa yang datang.

"Salam Nona, kami tetangga baru di lingkungan ini."

Ia melihat pasangan Suami Istri yang datang dengan membawa bingkisan.

"Ah iya, terima kasih," ucap Ruzeline canggung, sambil menerima bingkisan itu.

"Nama saya Amika, dan ini suami saya, Nararya," kata wanita itu—Amika.

Tak tau kenapa, tetapi, Ruzeline rasanya pernah mendengar nama sang pria. Tetapi entah dari mana.

"Salam kenal. Nama saya Ruzeline."

Ketika Ruzeline memperkenalkan diri, Nararya dan Amika saling bertatapan, seperti mereka menemukan sesuatu.

"Kalau begitu mohon bantuan untuk kedepannya, Nona Ruzeline."

***

"Itu pasti orangnya."

Amika duduk di sofa rumah barunya seraya menatap Nararya yang tengah meminum air.

"Iya. Darah campuran," balas Nararya, menaruh gelasnya ke meja sofa dan duduk sebelah Istrinya.

"Gadis itu begitu manis. Aku yakin dia orang baik."

"Kebaikannya tak bisa menjamin dirinya untuk menikahi Arhad."

"Aku tau apa yang kau maksud."

"Benar. Keluargaku terlalu ketat untuk membiarkan hal itu terjadi. Bahkan tanpa pernikahan bisnis, Bumantara sudah memimpin ekonomi Indonesia, mereka tak perlu pernikahan semacam itu. Tapi, semua begitu terobsesi dengan darah ningrat."

Amika menunduk mendengarnya. Andai saja dirinya berasal dari keluarga konglomerat mana pun selain Amandala yang bermusuhan dengan Bumantara sejak dulu, ia pasti bisa menikahi Nararya dengan mudah.

"Kedepannya, mungkin akan berat bagi Tuan Arhad."

"Iya. Dia harus menghadapi perjodohan dari Ayah."

"Aku hanya berharap agar Tuan Arhad dan orang yang ia cintai bisa bahagia."

"Aku juga."

***

"Lama tak jumpa!"

Askar memeluk Ruzeline sejenak, melepas rindu. Entah sejak kapan keduanya menjadi dekat. Mungkin sejak Ruzeline bertamu ke rumah Askar.

"Kak Askar, apa kabar?" tanya Ruzeline setelah melepas pelukan.

"Baik. Aku bahkan masuk ke banyak koran Negara luar," kekehnya.

"Benarkah? Mengapa bisa begitu?"

"Aku pun bingung. Katanya karena keren sudah memiliki posisi tinggi di usia muda, serta wajah yang super tampan," balas Askar.

"Keren! Aku jadi ingin melihatnya," Ruzeline terkekeh, seraya mengajak Askar duduk.

"Aku rasa akan sedikit sulit untuk melihatnya, mengingat koran itu memiliki peminat yang banyak, sehingga harus berebut," ucapan Askar yang sejujurnya malah membuatnya terdengar menyebalkan.

"Ya, ya, baiklah."

Ketika keduanya berbincang-bincang ringan mengenai berbagai hal, surat pun datang sehingga Ruzeline mengambil surat itu dengan girang, lalu membukanya di depan Askar.

"Semoga dari Arhad," batinnya dalam hati.

"Dari siapa?" pertanyaan Askar membuat Ruzeline tersenyum tipis.

"Dari Adikmu ternyata, Artha," katanya. Sedikit kecewa.

"Loh sejak kapan kalian dekat sampai saling mengirim surat?"

Pyramid: TemaramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang