Arhad berjalan dengan wajah datarnya menyusuri mansion Bumantara. Para pelayan yang menyambutnya di pintu, hanya ia abaikan karena suasana hati yang buruk.
"Menemui gadis Belanda itu lagi?"
Padahal pemutusan hubungannya dengan Ruzeline saja sudah cukup menguras tenaganya. Tapi, sang Ayah ternyata malah berada di mansion, memancing emosinya.
"Ada apa Ayah kemari?" tanya Arhad. Masih dengan wajah datar.
"Ini rumahku Arhad. Aku tak perlu alasan untuk kemari," kata Mahadra, melipat korannya dengan tenang.
"Jangan incar Ruzeline lagi," ucap Arhad memperingati.
"Apa maksudmu Arhad? Ayah tak melakukan apa-apa."
Setelah penuturan Mahadra, Arhad langsung mendekat ke arah pria paruh baya itu dan mencengkram kerahnya.
"Kau anak kurang ajar, lepas!" Mahadra mencoba melepaskan tangan anaknya dari kerah miliknya, tapi ia gagal.
Mahadra tak pernah tau anaknya sangat kuat.
"Ayah kira aku tak tau selama ini Ayah mencoba menyakiti Ruzeline?! Aku selalu melindunginya! Ayah tak akan pernah bisa menyentuh bahkan sehelai rambutnya!" Bentak Arhad, masih dengan mencengkram kerah Mahadra, ia mendorong tubuh itu ke tembok dengan keras.
"AKH!" teriak Mahadra.
Pelayan yang mendengarnya pun langsung bergegas ke arah mereka, berniat menengahi.
"Jika ada yang mendekat, akan aku pecat kalian dari sini!" ancam Arhad. Yang mengatur mansion memang bukan Mahadra, tetapi Arhad.
Sehingga mereka semua menuruti perintahnya. Dan pergi dari sana.
"Kau sampai bersikap begini pada Ayahmu? Hanya karena gadis itu?!" ucap Mahadra.
Arhad terkekeh dalam kekesalannya, "Apa? 'Hanya karena gadis itu'? Dia bukan sekadar 'hanya' bagiku!"
"Kau tertawa?!"
"Dengar, Ayah! Sepertinya hal ini sudah menjadi tradisi para pria di keluarga ini bukan? Mulai dari Kakek, kau, dan Kak Nararya, lalu aku. Kami semua sama-sama mencintai orang yang tidak seharusnya bersama dengan kami," kata Arhad.
"Apa kau bilang?!"
"Netari. Wanita yang sangat kau cintai itu. Kau sama saja denganku Ayah! Kau tak seharusnya bersama dia. Ibu adalah calon yang paling cocok untukmu!" bentak Arhad.
"Aku sudah pernah bilang, aku bisa menyakiti wanita yang kau cintai kapan saja. Sepertinya Ayah menganggapku remeh ya?" Arhad tiba-tiba menghitung mundur.
"Tiga."
"Dua."
Sebelum menghitung angka terakhir, Arhad menyeringai pada Ayahnya.
"Satu."
"Tuan Mahadra, ada surat dari kediaman Nyonya Netari," bawahan datang membawa surat setelah Arhad berhitung.
Arhad melepaskan cengkramannya dari kerah sang Ayah dan tersenyum meremehkan, "Bukalah. Hadiahku untuk Ayah."
Mahadra dengan cepat membuka surat tersebut dan membacanya.
Mahadra, ini Netari. Tadi kediaman kita hampir terbakar. Untung saja para pelayan dengan cepat memadamkannya. Aku tak apa, tapi anak kita terluka. Aku harap kau cepat menyelesaikan urusanmu di rumah Nyonya Tiana dan kembali.
Salam hangat, Netari
Arhad yang mengintip surat itu terkekeh senang. Semua adalah ulahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pyramid: Temaram
RomansaGadis Belanda terlibat dengan orang-orang terpenting Indonesia pada 1950. ❝Aku keturunan penjajah. Kita tak akan pernah bersatu.❞ ‐ 1950, Jakarta Setelah Indonesia merdeka, pernakah kalian berpikir bagaimana nasib keturunan para penjajah yang ada? ...