14. Keputusan Haidar Dan Restu

38.4K 2.3K 39
                                    

        Sudah seminggu berlalu. Haidar mulai bangkit, melanjutkan lagi hidupnya walau kini tanpa ada nenek yang selalu ada dipihaknya. Dia harus cepat-cepat pergi dari rumah. Dia tidak ingin diatur-atur seenaknya lagi.

"Di mana perempuan itu?" tanya Hengki pada anaknya.

Haidar menyimpan sendok perlahan lalu menatap sang ayah. "Namanya, Lili, Pah. Dia mungkin ada di rumahnya," jawabnya datar.

"Kamu minta nikah seenaknya! Jelas papa tidak setuju! Selama ini papah mengalah karena ada nenek kamu! Sekarang papah berhak atas kamu! Jadi jangan dulu menikah, kamu harus masuk ke kantor papah, belajar untuk meneruskan bisnis papah,"

Haidar mengepalkan tangannya dengan masih memasang wajah datar.

"Jangan seenaknya lagi, masuk kuliah jurusannya bukan bisnis, buat apa? Ga berguna!"

"Aku mau tetap menikah dan ga akan pernah masuk ke perusahaan, papah!"

Lea menyudahi makannya, dia terlihat cemas. Suami dan anaknya itu tidak pernah akur. Selalu saja bertentangan.

"Namanya Lili, kamu pikir papah ga bisa apa-apain dia?" Hengki tersenyum dengan jahatnya. Kesabaran Hengki sepertinya habis dan juga sudah tidak akan ada yang menentangnya lagi.

Haidar sudah kalah. Cukup selama ini Hengki sabar melihat anak sulungnya yang tidak menuruti kemauannya.

"Papah, ngancam?" Haidar beranjak dengan tangan terkepal. "Ada atau engganya nenek, aku punya hak atas hidupku sendiri!" tegasnya lalu berlalu dari meja makan.

Lebih baik orang tuanya itu tidak ada di rumah.  Tidak pulang sekalian! Haidar tidak butuh mereka yang selalu menyakitinya dengan segala aturan tanpa mendengarkan keinginan dan pendapatnya.

Hafin menatap kepergian sang kakak. Dia merasa sedih, selama ini dia hanya bisa melihat sebagai penonton. Andai saja dia bisa lebih berguna.

Hafin bahkan heran. Kenapa Hengki sangat tidak percaya padanya. Apa karena pecicilan, nakal dan sering bolos semasa sekolah?

Padahal Hafin sama pintarnya dengan Haidar.

"Semua anakku ga berguna!" Hengki menepis satu piring hingga pecah di lantai lalu beranjak tanpa ingin melanjutkan makan.

Lea menghela nafas lesu. Padahal ibu dari suaminya baru meninggal. Kenapa Hengki tidak membahasnya nanti saja.

"Jangan dengerin, papah." Lea mengusap kepala Hafin. "Lanjut makannya, mamah susul papah dulu," setelahnya pergi buru-buru sebelum barang di kamarnya kacau.

Hafin menatap kekosongan di sekelilingnya. Selalu saja kosong. Uang memang banyak, tapi kebahagiaan di keluarganya sungguh tidak ada.

Hafin beranjak, dia akan ke club saja. Di sana lebih ramai.

***

Lili bersenandung pelan, dia tengah menikmati suasana malam di atas balon angsa yang ada di kolam renang.

Lili terlihat asyik membuka lembar demi lembar majalah. Dia ingin belanja. Seminggu kurang mengurus Haidar sungguh menguras emosinya.

"Non, ini cemilannya."

Lili menoleh lalu mendayung dengan tangannya agar mendekat ketepian. "Mbo, boleh minta minumannya di tambah?" tanyanya.

"Boleh dong, non."

"Oke, makasih, mbo." Lili kembali ke tengah, kini cemilan dan majalah menemaninya.

Hate And Love (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang