23. Lili Hamil?

40.1K 2.4K 49
                                    

       Lili berjongkok dengan terengah. Dia angkat tangan, menyerah. Tidak sanggup lagi untuk berlari maupun jalan. Dadanya terasa sesak saking tidak biasa olah raga.

"Jantung gue astaga! Ga! Gue nyerah," lirihnya dengan terengah dan menekan dada.

Itu yang tidak di sukai Lili. Olah raga baginya menyiksa, apalagi nanti setelah selesai. Tubuhnya pegal-pegal.

"Biasain!" Haidar berhenti, ikut berjongkok. Bagaimana pun dia harus tetap menjaganya. "Gue gendong," putusnya saat melihat bibir Lili pucat.

Lili tidak menolak. Berjalan saja memang tidak kuat. Selemah itu fisiknya. Wajar, dari Sekolah dasar hingga kuliah dia anti olah raga. Olah raga pun terpaksa, mana mungkin bolos setiap saat, saat sekolah.

"Lemah!"

Lili tidak merespon, dia tengah mengatur nafas. Menenangkan debar jantungnya yang bergemuruh.

"Naik taksi aja," lirih Lili lesu, pipinya dia sandarkan di bahu Haidar.

Haidar tidak menolak, memesan taksi lebih cepat dari pada jalan kaki menuju gedung apartemennya.

Taksi pun datang, Lili Haidar masukan perlahan.

"Pak, ke jalan ****. Makasih,"

Mobil pun melaju. Haidar membuka botol air, dia dekatkan ke bibir Lili. "Minum, jangan kayak korban yang baru selesai gue siksa gitu!" ketusnya.

Lili mendengus lalu menyedot air itu tanpa berpikir lagi. Hampir berbulan-bulan keduanya bersama. Satu sendok, satu gelas mungkin sudah biasa di antara mereka kini.

"Nabila masih sering kirim pesan? Tanyain tugaskan bisa ke gue," dumel Lili dengan masih kelelahan.

"Kadang,"

Lili menatap Haidar. "Dan lo bales?" tatapannya memicing.

"Hm,"

"Ck! Harusnya jangan, itu tandanya lo respon dia!" sewot Lili.

"Dia tanya tugas dan kita satu kelompok kalau aja lo lupa," balas Haidar malas.

Lili pun memilih diam menatap jalan dengan kepala terasa pening. Selemah itukah fisiknya? Di ajak olah raga sampai keleyengan.

"Gue mual," Lili menutup mulutnya.

"Ck! Masuk angin lagi! Makanya jangan pake kaos pendek keliatan udel kayak gini!" Haidar menampar manja perut Lili.

"Pijit, sendawa beberapa kali juga udah enakan! Jangan ngeluh! Gue aja kalau lo minta jatah ga pernah tuh ngeluh,"

"Namanya lo keenakan," balas Haidar berbisik.

Sontak Lili memukulnya acak. Tenaganya mendadak full lagi namun mual kembali menyerangnya.

"Gue mau sendawa yang besar, pijitin cepet!"

"Minta tolongnya yang bener! Jangan belagu kayak gitu," Haidar masih diam, dia ingin Lili lebih sopan.

"Haidar, tolong gue, pijitin pundak sama leher belakang. Gue masuk angin,"

"Bukan gitu,"

"Terus gimana?!" amuk Lili dengan gelisah, dia sudah sangat mual. Butuh dipijat hingga sendawa.

"Sayang, tolong pijitin, aku masuk angin,"

Lili bergidik ngeri. "Ga usah kalau gitu, biar gue pijit sendiri!" Lili memilih memijat sendiri walau rasanya beda.

Haidar tersenyum samar lalu memutuskan mengalah, dia pijat Lili sampai sendawa.

"Kayaknya lambung gue kambuh deh, bukan masuk angin,"

Hate And Love (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang