49. Kiss Dan Debat Pagi

25.6K 1.4K 3
                                    

       Haidar melepas kasar dasinya dengan wajah masam penuh emosi. Lili yang melihat itu jelas khawatir. Apakah ada yang terjadi selama di kantor?

"Mau mandi?" Lili urung bertanya, takutnya Haidar masih emosi jika di tanya lagi. Dia akan menunggu tenang saja.

Haidar mengecup kening Lili kemudian pipi Fathian. "Aku mandi dulu," jawabnya lalu pergi tanpa basa basi menyapa Fathian.

Lili maklum.

Tak lama Haidar keluar kamar, tepat saat Fathian terlelap setelah menyusu. Lili memutuskan untuk memindahkan dulu Fathian kemudian mengobrol dengan Haidar.

"Dia tidur?" Haidar menghadang, mengusap pipi gembul sang anak.

"Hm, aku pindahin dulu."

Haidar pun tidak menahan, membiarkan Lili ke kamar dan dia memilih duduk di sofa ruang tengah, menatap televisi lalu meraih remot untuk mencari yang lebih seru.

Tak lama Lili datang.

"Kenapa? Ada masalah di kantor?" Lili duduk, meraih sebelah lengan Haidar dan memijatnya agar rileks.

"Bram lagi, masih soal dia." jawab Haidar malas. Kalau saja dia bisa berhadapan dengan Bram, sudah pasti Haidar akan meninjunya meluapkan emosi.

"Ck! Kenapa lagi sama dia?" Lili jadi jengkel mendengarnya.

Haidar menyandarkan kepala di sofa. "Ternyata  orang suruhan itu sekongkol sama Bram!" suaranya terdengar dingin.

"Udah, yang penting Bram udah di tangkap dan di hukum sesuai sama kejahatannya. Bukti juga ada. Jangan bahas lagi kalau bikin emosi." Lili mengusap rahang Haidar yang mengetat.

Haidar mengatur nafas, mencoba melupakan emosinya. Dia hanya tak percaya bahwa orang yang dia percaya ternyata hampir menyesatkannya.

"Kamu ga sapa Fathian, ga main sama dia sampai dia tidur nungguin," Lili berhenti memijat, dia bersandar di bahu Haidar.

Haidar terdiam. Benar, biasanya dia main dengan Fathian walau hanya sebentar saja.

"Aku bangunin ya?"

Lili menahan dada Haidar agar tidak beranjak dari posisinya. "Jangan dong! Kasihan nanti rewel!" tahannya.

Haidar pun patuh. Dia bergerak memeluk Lili, mendekatkan wajahnya dan memagut bibirnya mesra. Hari ini Haidar lelah, Lili pun pasti sama. Dia hanya ingin bercumbu, saling berbagi kehangatan tanpa bertindak lebih lanjut.

"Eumh.. Jangan dulu ya," Lili berujar setelah pagutan terlepas.

"Aku tahu." Haidar berbisik lalu kembali menabrakan bibirnya, menekan tengkuk dengan semakin merapatkan tubuh, mengeratkan pelukan.

Lili terasa semakin hangat. Mungkin karena setiap harinya terus bertambah berisi.

***

Haidar membuka matanya. Suara tirai di buka membuatnya langsung terjaga apalagi silau menyapa mata.

"Bangun, kita jemur Fathian bareng, kamu ga ke kantor hari inikan?" tanya Lili yang terlihat merapihkan tirai lalu mendekat.

Lili sudah segar dengan rambut di cepol rapih, pakaian rumahannya terlihat santai dan cocok sekali di tubuh mungil yang agak berisi itu. Apalagi sumber makanan Fathian, terlihat semakin gempal.

"Kenapa?" heran Lili saat Haidar terus diam dan menatap seperti mengamatinya.

"Cantik,"

Lili menautkan alisnya. "Lagi ngigo?" gumam Lili lalu duduk di samping Haidar.

Haidar bergerak mendekat, membiarkan kepalanya berada di pangkuan Lili, menerima rambutnya yang berantakan di usap.

"Kamu cantik," puji Haidar seraya membenamkan wajahnya di perut Lili yang tidak serata dulu.

"Ayo turun! Malah terus ngigo!" balas Lili geli sendiri. "Ngapain pegang-pegang perut!" sentaknya refleks sambil mendorong wajah dan lengan Haidar.

Haidar asyik memainkan sedikit lipatan itu. "Awas diet! Aku tahu kamu dietkan! Aku marah kalau sampai ganggu pertumbuhan Fathian, aku ga suka kamu kurus," setelahnya Haidar beranjak.

"Tapi, pakaian aku jadi ga muat," keluh Lili.

"Beli lagi," Haidar turun dari kasur. "Awas ya! Aku marah kalau diet! Kalau kamu sayang Fathian, kamu ga akan sampai diet ga sehat! Kalau mau konsul sama dokter," lanjutnya.

"Males,"

"Yaudah jangan! Makan aja yang kamu suka, olah raga secukupnya! Jangan sampai diet ketat ga sehat!" omel Haidar yang kini melucuti piyamanya.

"Aku gendut, kamu emangnya—"

"Ga malu sama sekali!" potong Haidar tegas. Dia melempar atasan piyamanya ke keranjang cucian lalu menghadang Lili yang hendak keluar dari kamar.

"Jangan marah, aku ngomel karena sayang," Haidar memeluk Lili sekilas.

Lili memalingkan wajahnya. "Aku gendut, takut kamu malu," lirihnya dengan bibir bergetar.

"Serius kamu ga kenal aku? Aku bahkan ga bisa peduli sama orang lain selain kamu, Fathian dan keluarga. Pendapat, pandangan atau komentar orang lain bagi aku—"

"Bagi aku penting! Kamu ga akan ngerti! Kalau kamu ketemu cewek yang lebih—"

"Astaga!" geram Haidar. "Apa selama ini aku respon mereka?" entah kenapa masalah malah semakin merambat.

Padahal niat Haidar hanya ingin menghentikan Lili yang diet tidak sehat di saat Fathian masih butuh ASI.

Lili menunduk. Dia terlalu sensitif. Mungkin karena sebentar lagi akan datang bulan.

"Sayang, denger. Aku ga ada niat untuk semua yang ada di pikiran kamu sekarang! Aku larang kamu diet karena sayang sama kamu dan Fathian. Kalau pun mau asal di dampingi dokter, kata kamu maleskan? Jadi jangan, kamu ga terlalu gemuk. Hanya berisi ga sekurus dulu aja," Haidar mencoba lembut, menuntun Lili agar paham maksudnya.

"Aku ga mandang fisik. Yang penting kamu, kita semua sehat." tambah Haidar lalu menariknya ke dalam pelukan.

Lili membalas, memeluk dan mengusap punggungnya yang polos.

"Debatnya udah ya, jangan nahan kalau mau makan lebih, kalau mau apapun bilang," bisik Haidar.

Lili mengangguk terharu.

Haidar mengurai pelukan, mengecup sekilas bibir Lili. "Nanti lanjut lagi, aku mandi dulu. Duluan aja sama Fathian dan mba," ujarnya.

Lili mengangguk. "Maaf udah ngajak berantem pagi-pagi," di kecup sekilas pipi Haidar lalu dia usap.

Haidar mengangguk pelan dengan senyuman tipis. "Maafin aku juga, aku mandi dulu kalau kamu ga mau mandiin," balasnya.

Lili mendengus lalu kabur dari kamar sebelum Haidar berubah pikiran dan menariknya lagi ke kamar mandi untuk mandi atau mungkin lebih.

Hate And Love (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang