27. Kecemasan Dan Kehangatan

33.1K 2.2K 16
                                    

      Roger mengusap dagunya sekilas lalu merangkul Sanum yang terlihat cemas. "Haidar ga akan sakitin Lili, sayang. Mungkin keluarga Haidar tidak menerimanya sekarang, tapi nanti, pasti.." yakinnya walau cemas dia pun merasakannya.

Roger mencoba percaya kalau Hengki tidak mungkin menyakiti keluarga kecil anaknya. Apa ada seorang ayah yang sangat tega sampai menghancurkan rumah tangga anaknya?

"Kasihan Lili," lirih Sanum.

"Udah jalannya, kita hanya perlu yakin bahwa— sebentar," Roger melepas rangkulannya lalu meraih ponsel yang ada di meja, sedang berbunyi tanda panggilan suara masuk.

"Hallo," Roger tersenyum tipis dengan begitu hangat khas seorang ayah.

"Siapa? Lili?" Sanum terlihat berubah cerah.

Roger mengangguk.

"Datang saja, papa dan mama besok akan ada di rumah," ujar Roger.

***

Haidar melepas pakaian kerjanya. Menjadi pelayan ternyata tidak mudah. Sudah saatnya dia pindah ke tempat kerja selanjutnya, sama-sama menjadi pelayan namun lebih singkat waktunya. Hanya sampai pukul 7 malam dari mulai pukul 5 sore.

Gajinya memang tidak seberapa tapi lumayan jika di kumpulkan untuk tambah-tambah apalagi Lili sedang hamil.

Haidar harus semakin bekerja keras. Semoga pekerjaannya yang tidak tetap setiap bulannya tidak di ganggu Hengki.

Mengingat uang dan kuasa Hengki bisa saja Haidar di pecat, atau parahnya lagi tidak akan di terima di mana pun.

Tapi sejauh ini Hengki tidak sampai begitu. Haidar jelas tetap tidak tenang, justru semakin cemas kadang. Penasaran dengan yang akan dilakukan Hengki untuk menariknya ke dunia bisnis dan menjadi pewaris.

"Kak,"

Haidar menghentikan langkahnya saat sebuah mobil miliaran berhenti di samping motornya yang berhenti melaju karena lampu merah.

"Benerkan! Liat motor gede ini dengan tanda beruang kecil di samping bodinya jelas itu punya kak Haidar, secara itukan stiker dari adiknya yang ganteng," narsis Hafin.

Haidar tidak merespon.

"Pulang kuliah?" Hafin jelas tidak menyerah bahkan terbiasa dengan tingkah Haidar.

"Kerja."

"Ouh, kerja di mana? Tenang aja, pokoknya papah ga akan ganggu."

Haidar menautkan alis dengan menatap Hafin lagi.

"Gue lagi belajar bisnis, makanya papah ga terus desak lo," Hafin tersenyum cerah khasnya.

Haidar diam dengan masih menatap adiknya yang terlihat sedikit kelelahan itu. Bebannya pasti tidaklah mudah.

Hati Haidar mencelos, haruskah dia terus egois bahkan sampai membebankan semuanya ke pundak Hafin?

Haidar sangat tahu bagaimana Hengki mendidik Hafin. Haidar saja tersiksa saat itu, beruntungnya ada nenek dan kakek. Tapi Hafin?

"Mau main ke tempat gue?" tawar Haidar datar.

Hafin jelas semringah. "Boleh? Jelaslah gue mau!" jawabnya.

Hate And Love (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang