32. Lo Mau Gue Makan?

32.6K 1.8K 27
                                    

      Lili melipat kedua lengannya di perut yang cukup buncit itu. Seolah pamer dan menegaskan juga kalau dia tengah hamil anak Haidar pada Nabila yang kini tengah tersenyum begitu palsu.

"Makasih perhatiannya sama suami gue, lain kali jangan ya, maaf bukannya gimana-gimana, takutnya orang salah paham, bil." Lili tersenyum lembut setelahnya.

Nabila memalingkan wajahnya sesaat, guna menghempas kekesalannya yang jelas harus di tahan. Tingkah Lili begitu menyebalkan.

"Oke, gue usahain. Abis papa nyuruh biar kita deket maksudnya tuh sebagai rekan atau temen gitu, nantikan gue akan jadi utusan papa soal bisnisnya yang berarti gue akan ketemu Haidar ga sekali dua kali,"

Lili mengamati Nabila dari atas ke bawah, begitu terang-terangan. Sengaja, dia ingin membuat Nabila risih.

Penampilan Nabila jadi lebih modis. Semuanya mahal dan bermerk. Tidak secupu dan sederhana biasanya.

Mungkin benar kata Haidar, Nabila sudah di atur oleh papahnya sehingga berubah begitu drastis.

"Ekhem! Beberapa bulan lagi masuk kuliah, semua urusan kantor sementara bukan Haidar yang atur," jelas Lili terlihat so tahu, dagunya terangkat angkuh.

Haidar sedari awal hanya menatap Lili yang beragam ekspresi. Haidar mengendus rambut Lili, mengecupnya kilat.

"Kalian lanjut ngobrol, gue mau cek sesuatu dulu," pamit Haidar seraya melepaskan belitannya di pinggang Lili.

"Hati-hati, sayang," riang Lili dengan semangatnya.

Haidar mengulum senyum geli dengan terus mengayunkan langkah. "Hm," responnya dengan masih geli.

Lili menghela nafas. "Gue ga nyangka bisa secinta ini sama Haidar, Haidar juga, ahaha.." tawa Lili begitu renyah walau samar terdengar seperti garing.

Nabila tersenyum kecut. "Ga usah di paksain, Li. Lagian gue ga akan rebut Haidar kok," balasnya dengan senyum yang di mata Lili sangat menyebalkan.

Lili tidak menyangka. Mulai hari itu, musuhnya berubah jadi Nabila. Si cewek yang dia anggap pendiam, lugu dan baik. Semua pemikirannya salah!

***

Haidar bersandar di kursi kebesarannya. Membiarkan punggungnya istirahat walau kedua pahanya kini tidak karena harus menahan beban Lili yang duduk bahkan kini bersandar padanya.

"Ha~ Nabila kayak kibarin bendera perang ke gue!" kesalnya.

Sedari awal masuk, Haidar terus mendengar celotehan Lili yang begitu banyak mengeluh dan misuh-misuh.

"Makanya gue butuh tameng, dia kayaknya bener utusan, papah." Haidar memeluk perut Lili, mengusapnya.

Sang buah hati semakin tumbuh, bahkan detak jantungnya sudah terdengar saat minggu lalu di periksa.

"Dia berubahnya drastis, kayak bukan Nabila yang kita kenal, yakan?" heboh Lili dengan bergerak seenaknya, berbalik agar bisa menatap Haidar.

"Hm," erang Haidar sebagai respon.

"Respon lo kok kayak lagi nganu!" Lili menepuk dada bidang Haidar, sampai Haidar mengaduh samar karena kaget.

"Lo liat sendiri, lo duduk di mana?" sebal Haidar.

Lili cengengesan lalu kembali ke posisi dan bersandar pada Haidar.

"Waktu istirahat jam makan siang tinggal 10 menit lagi kurang lebih," Haidar mengecup rambut wangi Lili.

"Mana bisa main secepet itu!" serobot Lili.

Hate And Love (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang