50. Mandi Air Dingin

24.6K 1.4K 5
                                    

Lili menatap Bram yang memakai pakaian tahanan. Hanya menunduk tidak berani menatap Haidar apalagi pada Lili.

"Bram," panggil Lili.

Haidar melirik tajam. Kenapa harus selembut itu memanggilnya.

Bram menghela nafas panjang lalu menatap Lili dengan sorot mata yang teduh tersirat menyesal dan terluka.

"Li, gue minta maaf." lalu Bram kembali menunduk.

Lili tersenyum tipis. "Bram, makasih udah secinta itu sama gue. Tapi lo tahu sendiri, cinta ga bisa di paksa. Maaf, gue ga bisa terima cinta lo karena gue udah cinta sama Haidar, udah nikah bahkan punya anak juga. Gue harap setelah semua ini lo paham, ga semua bisa di miliki. Maaf lo gue terima, jangan kayak gini lagi ya," terangnya panjang lebar.

Haidar hanya diam melirik keduanya bergantian.

"Ga akan lagi. Gue nyesel, Li." Bram masih menunduk.

"Kalau gitu jaga kesehatan lo selama di dalem, setelah keluar lo perbaiki hidup lo, jadiin semua ini pelajaran." Lili tersenyum tulus.

Lili ingin tidak ada lagi dendam. Jujur saja, dia ingin sekali meninju Bram namun dia tidak ingin lebih bermasalah.

Bram mengangguk lalu mendongak menatap Haidar. "Gue juga minta maaf, dar. Udah mainin lo sama yang lain. Gue janji akan berubah," yakinnya.

"Gue pegang omongan lo." Haidar meraih jemari Lili lalu beranjak.

"Kita pamit," ujar Lili yang terus di seret Haidar agar keluar.

Sudah cukup bertemunya. Haidar takut Bram malah semakin cinta pada Lili. Dia tidak akan terima.

***

"Loh anak bunda kenapa?" Lili menggendong Fathian setelah duduk di dalam mobil. "Mba pindah ke depan aja," perintahnya.

Pengasuh Fathian pun mengangguk dan pindah. Kini Haidar masuk lalu duduk di samping Lili.

"Kita langsung ke rumah saja, pak." perintah Haidar lalu menatap Lili dan Fathian. "Kenapa?" tanyanya setelah menutup pintu, memasang sabuk pengaman.

"Lagi manja ya," gemas Lili lalu mengendus pipi Fathian yang memerah dan basah. "Lagi ga mau lepas," lanjutnya seraya mulai bersiap untuk memberi Fathian ASI.

Haidar menyalakan sekat agar Lili mendapat privasi.

Fathian langsung menerimanya dengan lahap. Lili sampai meringis Merasakan kuatnya Fathian menyedotnya.

"Ayah ga akan minta, Fathian." Haidar mengusap pipi Fathian lalu merangkul Lili. Menatap bagaimana anaknya yang menyusu.

Haidar menyeka air mata Fathian, merapihkan rambutnya juga. Fathian menatap lalu melepaskan putingnya dan tersenyum lucu.

Haidar dan Lili berpandangan geli. Mood Fathian mendadak bagus. Lucunya.

"Ih! Kenapa ganteng?" gemas Lili.

Fathian berceloteh, menepuk tangannya lalu tertawa pelan. Padahal Haidar dan Lili hanya tersenyum.

"Udah bisa panggil bunda belum?" Lili kembali mengajak Fathian berbincang. "Coba panggil, bunda.. Bunda.."

Haidar membiarkan telunjuknya di mainkan Fathian.

"Nda.." celoteh Fathian terlihat tidak sengaja, dia sedang asyik memainkan jemari ayahnya.

"Apa?" Lili berseru bahagia. Dia tidak salah dengarkan. "Sekali lagi, bunda.. Bunda.."

"Ndada!" riang Fathian di akhiri tawa khas bayi.

Lili menatap Haidar haru. Entah kenapa Fathian begitu bahagia hari ini. Biasanya diam dengan tenang, menatap mengamati bahkan berceloteh sangat jarang.

Fathian hanya akan duduk, merangkak lalu bermain mainan.

"Haidar, dia panggil bunda.." lirihnya terharu bahagia.

Haidar mengulum senyum, mengecup kening Lili lalu menatap Fathian. "Coba panggil ayah.. Ayah.. Ayah.." di tatapnya Fathian yang diam menatap.

"Yayayah!" serunya dengan senyum yang manis. Dasar si gembul menggemaskan. Haidar langsung mengecup banyak wajah Fathian sampai tertawa lucu.

Mood Fathian sungguh menular.

Lili semakin terharu. Dia pun ikut mencium wajah Fathian.

"Hari ini Fathian bahagia banget, padahal sebelumnya nangis, dasar manjanya anak bunda." gemas Lili.

Haidar mengeluarkan ponsel. Dia abadikan kebahagian itu. Akan dia jadikan selembar foto sebagai kenangan.

***

"Shh.. A..hh.." Haidar menggeram halus, menggerakan pinggulnya gemas.

Lili sama sibuknya, dia mengusap bahu, punggung dengan bibir sibuk memberikan jejak entah itu di leher atau bahu Haidar namun semua pergerakan terhenti saat mendengar suara tangis Fathian.

"Fathian kenapa?" Lili panik dengan nafas terengah. Dia seka peluhnya sendiri.

Haidar melepas penyatuan, meraih boxernya dan memakainya dengan cepat. Lili pun sama bergegasnya, dia meraih gaun tidur tanpa menggunakan dalaman dulu saking panik.

Haidar mengatur nafas, menyeka keringat dan menyusul Lili tanpa peduli dia belum pelepasan. Biasanya Fathian tidak menangis sekencang itu.

"Kenapa nak?" tanyanya setelah sampai keruangan sebelah kamarnya yang menjadi tempat Fathian.

Fathian sudah duduk di atas kasurnya yang berpagarkan kayu itu. Menangis dengan lucunya. Bayi yang semakin besar itu jadi rewel dan banyak ekspresi.

Padahal kalemnya seperti Haidar, tapi sekarang mirip Lili. Manja dan cengeng kalau pada kedua orang tuanya.

"Kebangun sayangku, iya?" Lili menggendongnya, membawa ke dalam kamar utama.

"Coba cek, sayang. Apa ada semut, atau dia pup," Haidar mengusap anaknya yang masih menangis walau tidak kencang.

Lili menurutinya, memeriksa setiap sudut kulit Haidar. "Ga ada," jelasnya saat semua sudah selesai dia periksa.

"Mau tidur di sini? Sama ayah dan bunda?" kata Haidar lembut, tangis Fathian mulai surut seolah paham.

"Susuin dulu, siapa tahu nyenyak lagi." ujar Haidar yang di angguki Lili.

Lili merebahkan Fathian, dia pun ikut rebahan menyimping, menarik gaun tidurnya hingga atas, jika dia keluarkan dari atas pakaiannya itu akan menyakiti dada dan lehernya. Bentuk gaun tidurnya terlalu rumit di jelaskan.

Haidar menyelimuti bawah Lili dan rebahan di belakangnya, ikut melihat anaknya yang langsung adem ayem dengan kedua mata basah yang sayu. Terlihat ngantuk.

Entah apa yang membuatnya terbangun.

Haidar memeluk Lili. "Kayaknya aku harus mandi air dingin malem-malem, kalau belum tuntas lumayan bisa bikin ga bisa tidur." kekehnya.

Lili mengulum senyum. Mengusap wajah Haidar yang nyempil di leher dan bahunya, masih menatap Fathian.

Hate And Love (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang