33. Secandu Itukah Dan Keluh Kesah

31.8K 1.8K 15
                                    

      Lili melirik Haidar yang terlihat sangat fokus. Padahal sudah sangat malam tapi tetap harus bekerja. Kasihan. Benar kata Haidar. Tugasnya besar bahkan waktu luangnya pun di lahap habis oleh pekerjaan.

Lili keluar dari selimut, dia beranjak dari kasur untuk menghampiri Haidar. Dia hanya bisa membantu memijat bahu, itu pun mungkin bantuan yang setitik darinya.

"Mau pijit?" Lili berdiri di samping Haidar yang duduk di kursi kerjanya. Bahkan kamar yang hanya ada kursi kecantikan kini ada meja dan kursi kerja.

Haidar tetap ingin memantaunya. Sesibuk apapun tidak ingin mengabaikan istrinya. Romantis bukan?

Lili gagal untuk tidak jatuh cinta.

"Udah jam sebelas malem, Li. Tidur aja," balas Haidar dengan masih sibuk menata barang-barang.

"Sebentar aja," Lili bergerak ke belakang, mulai memijat bahu.

Haidar pun memilih beristirahat sejenak. Dia sandarkan dan biarkan bahunya di pijat Lili. Rasanya nyaman.

"Emang harus lembur?"

Haidar membuka mata, wajah Lili menyambutnya. Dari atas. Haidar mengusap dagu Lili.

"Guekan udah bilang. Terjun ke dunia papah itu berat. Dulu, saat gue masih SMP kelas satu keluarga gue hampir terpecah belah. Bahkan mungkin sekarang sebenernya tetap hancur,"

Lili diam mendengarkan.

"Mamah selingkuh."

Pijatan Lili terdiam sejenak.

"Waktu papah bener-bener ga ada untuk keluarga, jika pun ada libur pasti papah isi buat istirahat. Papah ngejar kesuksesan sampe lupa mamah, gue dan Hafin ada."

Lili pasrah saat Haidar menuntunnya untuk duduk menyamping di pangkuannya. Membuat wajah mereka saling berhadapan.

Bisa Lili lihat, sorot mata Haidar yang lelah dan sangat terluka.

"Gue egois, gue mau bebas karena gue ga mau kayak papah. Ga hanya jiwa papah yang sakit, tapi mamah, gue dan Hafin jadi ikutan sakit. Kita sama-sama saling menyakiti,"

Lili meraih kepala Haidar untuk dia sandarkan di dadanya. Dia sisir, dia usap rambut itu hingga acak-acakan.

"Dan gue terpaksa turun, gue ga mau terus egois dengan mengorbankan Hafin,"

Lili mengangguk. "Keputusan lo udah bener kok, Hafinkan sebulan liburan, seterusnya kalian bisa kerja sama. Lebih ringan kerjanya kalau kerja sama," balas Lili.

"Maaf gue udah seret lo ke kehidupan gue yang rumit," sesal Haidar di dalam rengkuhan hangat itu.

"Elah, gue seneng kok punya suami keren, ntar anak kita juga pasti akuin itu. Lo beda dari papah, lo ga egois, bahkan masih pentingin gue di saat lo sibuk ga punya waktu,"

"Kalau gue udah berambisi, udah bukan gue yang sekarang. Tolong, bantu gue sadar, Lili."

Lili mengangguk. "Pasti, gue timpuk!" Lili refleks menimpuk kepala belakang Haidar sampai Haidar mengaduh kaget.

"Maaf, maaf! Gue kelepasan!" ucap Lili cepat nan panik.

Haidar mendengus lalu kembali memeluk Lili, membiarkan pipinya bersandar di dada empuk itu. Tak lupa perut buncitnya Haidar usap.

"Mamah ngaku salah, katanya udah ga selingkuh lagi. Tapi liat mamah sering keluar, bahkan di saat papah sakit rasanya mamah masih ada sesuatu," jujur Haidar. Dia bukan lagi anak kecil yang mudah di bodohi.

"Setiap manusia berhak menjemput bahagianya. Gue juga pusing kalau urusan manusia," Lili menyerah.

"Mamah udah memiliki semuanya, dalam segi materi memang. Tapi tetep aja kurang puas karena dalam segi cinta dan perhatian mamah miskin." Haidar sadar soal itu.

Hate And Love (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang