13

27.7K 2.1K 70
                                    

Happy Reading

Elio sampai di depan mansionnya. Ia turun bersama Bi Asih kemudian masuk ke dalam. Saat Elio masuk, ternyata keluarganya tengah melakukan makan malam. Elio awalnya ingin segera ke kamar karena ingin tidur, namun suara Ricko menginterupsinya.

"Lio sini!" Panggil Ricko. Elio mengalihkan pandangannya.

"Aku mau ke kamar kak," balas Elio.

"Makan dulu!" tegas Ricko. Elio menghela napas.

"Bentar, aku mau ganti baju," Elio segera naik ke atas untuk berganti baju sekaligus mengisi daya ponselnya yang lowbat, sementara Bi Asih pergi ke dapur. Tak lama kemudian, Elio turun. Bajunya sudah berganti dengan piyama bermotif pororo. Ia mendekat meja makan dan duduk di sebelah Ricko.

"Kenapa kamu udah pulang?" tanya Ricko heran.

"Nggak betah," balas Elio seadanya.

Ricko menghela napas, "Tapi kamu kan masih sakit dek, tuh badan kamu aja masih panas gini," Ricko menempelkan telapak tangannya di dahi Elio. Elio tertegun dengan perlakuan kakaknya ini. Namun tak urung dia merasa senang.

"Lio udah nggak apa-apa kok kak, besok juga sembuh," balas Elio.

Ricko pasrah mendengar jawaban sang adik, ia memilih mengambilkan makanan untuk Elio. Mereka yang ada di meja makan merasa heran dengan tingkah Ricko. Tidak biasanya remaja itu peduli dengan Elio. Bahkan  seseorang di meja tersebut mengepalkan tangannya erat karena merasa kesal.

"Makan!" titah Ricko. Elio mengangguk, ia segera memakan makanan yang sudah diambilkan oleh kakaknya.

"Papa sudah mengurus berkas perpindahanmu, besok kamu tinggal ambil dokumen di DHS, lalu berangkat ke sekolah milik papa," ujar Samuel di tengah acara makannya. Orang-orang di sana mengernyit bingung mendengar perkataan Samuel. Siapa yang akan pindah sekolah? Elio? Bukankah bocah itu masih SMP? Begitulah batinan orang-orang di meja makan, kecuali Elio dan Samuel serta satu orang lagi, Ricko.

'Jadi bener kalau Lio udah masuk ke SMA dan dia sekolah di DHS, tapi kenapa papa nyuruh dia pindah?' batin Ricko.

"Memang siapa yang akan pindah pa?" tanya Liana.

"Elio," balas Samuel.

'Loh bukannya dia masih SMP, kenapa pindah ke sekolah papa, itukan senior high school?' batin Liana.

'Kok bisa dia masuk DHS, itukan sekolah elit, uang saku dia sebulan aja lebih kecil dari uang saku gue selama seminggu, jangan-jangan dia jual diri lagi'

'Dia udah SMA?'

'Sebegitu tak acuhnya kah aku, sampai tidak tahu perkembangan adiknya,'

Begitulah isi hati orang-orang di meja makan.

Elio mengeratkan pegangan sendoknya. Sungguh ia merasa marah dan kecewa dengan papanya. Ia bahkan baru memasuki DHS selama kurang lebih 1 bulan. Ia juga mulai nyaman dengan orang-orang di sana, terutama sahabat barunya serta Sabian dkk.

"Elio udah bilang kan pah, kalau Elio nggak mau pindah, kenapa papa tetap maksa?" tanya Elio lirih.

"Papa juga udah bilangkan, kalau papa nggak suka dibantah. Lagian papa udah minta pihak sekolah buat cabut beasiswa kamu, jadi kalau kamu tetap kekeh buat sekolah di sana, ya sudah kamu harus bayar biaya sekolah di sana sendiri," ujar Samuel santai. Keluarganya yang lain hanya diam mendengarkan perdebatan tersebut. Mata Elio membulat, ia meletakkan sendoknya dengan kasar ke atas piring.

Trangg..

"PAPA EGOIS..PAPA NGGAK PERNAH MIKIRIN PERASAAN AKU," bentak Elio. Ia tidak habis pikir dengan papanya. Beasiswa itu padahal ia dapatkan dengan susah payah agar dia bisa tetap sekolah. Tapi kenapa Samuel dengan begitu mudahnya menyuruh pihak sekolah untuk mencabut beasiswanya dan memindahkan sekolahnya.

ELIO [ end ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang