28

24.5K 1.8K 11
                                    

Happy Reading

Sudah hampir tiga minggu setelah Elio meminta maaf kepada Sabian. Saat ini remaja itu tengah berdiri di balkon kamarnya. Malam ini mansion tampak sepi karena penghuninya sudah banyak yang tidur. Netra Elio memicing ketika melihat seorang wanita paruh baya tengah mengobrol bersama seorang remaja laki-laki.

"Itu bukannya Bi Nia sama Nio ya, mereka ada hubungan apa sih sebenarnya? Kenapa gerak-gerik mereka kayak mencurigakan?" monolog Elio.

"Ck..aku kayaknya harus selidiki nih," Elio lantas turun ke bawah. Ia terus melangkah menuju taman belakang untuk memata-matai pembantu serta kakak angkatnya.

Di sisi lain...

"Nio, pokoknya kita harus gerak cepat, ibu udah nggak sabar buat jadi nyonya di rumah ini, ibu udah nunggu saat-saat di mana ibu jadi istrinya Samuel," ujar Bi Nia dengan girang.

Nio mendengus, "Ibu tenang aja, makanya ibu juga bantuin Nio dong,"

"Iya ibu pasti bantu kok, eh tapi kata kamu si Ricko udah mulai peduli sama si anak sialan itu," ucap Bi Nia.

Nio mengangguk, "Iya nyebelin banget, kita harus nyingkirin hama itu secepatnya, baru kalau ibu mau singkirin wanita itu silahkan," ujar Nio licik.

"Oke tenang aja," balas Bi Nia yang ikut tersenyum licik. Mereka kemudian memilih kembali ke kamar masing-masing agar tidak ada yang curiga. Elio mendengar semua percakapan mereka. Elio sungguh terkejut mendapati fakta yang baru saja ia dengar.

'Jadi Bi Nia itu ibunya Nio? Terus apa tadi, mau jadi nyonya di mansion ini katanya? Wah..nggak bener nih, aku harus cegah mereka,' batin Elio dengan sorot mata tajam. Ia tidak menyangka jika ternyata Bi Nia menyukai papanya, bahkan berniat menyingkirkan dirinya dan sang mama.

'Ck aku lupa lagi tadi nggak bawa ponsel, tahu gitu aku rekam tadi' gerutunya dalam hati.

"Aku harus ngumpulin bukti biar keluarga aku tahu kelakuan busuk anak pungut itu hihhh," monolog Elio kesal. Ia kemudian beranjak kembali ke kamarnya.

***

Keesokan paginya Elio pergi bekerja ke Kafe. Hari ini adalah hari minggu sehingga ia harus berangkat pagi. Elio menuruni tangga dengan semangat. Ia mendudukkan dirinya di ruang makan. Remaja itu hanya duduk bersama dengan Nio, membuatnya merasa gerah.

"Wahh lo kayaknya bahagia banget ya  pembunuh!" Nio tersenyum smirk. Elio sedikit tertegun ketika melihat Nio yang membuka topengnya saat ini. Namun sedetik kemudian ia tersenyum.

'Wahh udah berani menampakkan wujud aslinya,' batin Elio.

Elio menatap wajah kakak angkatnya, ia tersenyum remeh, "Oh..tentu dong, kenapa nggak suka?"

Nio yang merasa diremehkan mengepalkan tangannya erat, "Pembunuh kayak lo itu nggak pantes bahagia,"

"Oh ya? But i don't care about that, kamu itu nggak tahu apa-apa tentang aku, kamu di sini itu cuma numpang, perebut yang seolah-olah menjadi tuan rumah," wajah Elio terlihat datar.

"LO.." teriak Nio, namun remaja itu segera sadar, ia tidak boleh kelepasan atau pekerja di sana akan curiga dan melaporkan hal itu kepada papa angkatnya.

Elio terkekeh, "Kenapa? Takut topeng kamu ketahuan hm?" pancing Elio. Takut emosinya tidak terkendali dan membuat rencananya gagal, Nio memilih untuk pergi ke kamar. Elio hanya melihat kepergian Nio dengan tatapan tak acuh, ia memilih melanjutkan acara sarapannya. Selesai sarapan, Elio segera pergi ke Kafe untuk bekerja.

***

Pukul 13.00, keadaan kafe sedang ramai-ramainya. Elio bahkan sudah bolak-balik untuk mengantarkan pesanan. Saat akan mengambil nampan, tiba-tiba kepalanya kembali berdenyut. Remaja itu pun terlihat sedikit oleng.

ELIO [ end ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang