Prolog

78.5K 3.5K 208
                                    

Happy Reading

Seorang remaja lelaki memandang sendu pemandangan yang ada di depannya. Tak jauh dari tempat remaja itu berdiri, keluarganya tengah bercanda tawa seolah melupakan kehadirannya. Remaja itu tak lain adalah Elio Deanendra Wijaya, bungsu dari keluarga Wijaya. Remaja yang masih berumur 13 tahun itu bahkan tidak merasa jika dirinya adalah bungsu. Kehadirannya semakin tak terlihat setelah keluarganya mengangkat seorang anak laki-laki yang berumur lebih tua darinya.

Zenio Allen Wijaya, remaja lelaki berumur 15 tahun yang diangkat menjadi anggota keluarga Wijaya 5 tahun yang lalu. Nio diangkat oleh Samuel Wijaya, ayah dari Elio ketika pria paruh baya itu mengunjungi panti asuhan tempatnya berdonasi.

Elio yang saat itu masih kecil hanya iya-iya saja, bahkan ia merasa sangat senang karena mendapatkan kakak baru yang bisa ia ajak bermain. Tanpa tahu kehidupannya akan berubah mulai saat itu.

***

"Lio, kenapa di situ, sini duduk!" ucap seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah Liana Anggraini Wijaya, mama Elio. Elio sedikit tersentak mendengar panggilan mamanya, tak disangka perempuan itu menyuruhnya bergabung. Ia tersenyum kikuk kemudian berjalan mendekati keluarganya. Ia mendudukkan tubuhnya di sebelah kakak ketiganya, Ricko Sebastian Wijaya

"Nio mau ngasih tahu sesuatu sama kalian," ucap Nio dengan semangat. Semua orang mengalihkan atensinya ke arah Nio, begitupun dengan Elio.

"Adek mau ngasih tahu apa?" tanya seorang remaja lelaki, Ricky Septian Wijaya, kakak kedua Elio sekaligus twins dari Ricko.

"Iya kayaknya seneng banget hm?" tanya seorang pemuda yang tak lain adalah kakak sulung Elio, Jeano Putra Wijaya.

"Nio dapat tugas buat pidato pas acara ulang tahun sekolah," Nio berucap dengan antusias. Yang lain ikut tersenyum bangga, kecuali Elio yang hanya menatap miris keluarganya.

Jujur Elio merasa cemburu dengan Nio, ia yang hanya bertugas untuk pidato di depan umum, namun keluarganya terlihat begitu antusias. Ia mengingat 3 tahun yang lalu, ketika dirinya pulang dengan sebuah piagam penghargaan di tangannya, piagam perlombaan melukis tingkat daerah yang diselenggarakan di sekolah tetangga. Saat itu Elio berniat untuk memberitahukan keluarganya terkait prestasi yang ia dapatkan, namun keluarganya hanya tak acuh, bahkan papanya mengatakan jika melukis tidak ada gunanya.

Sejak saat itu, Elio tidak pernah mengatakan apa-apa terkait sekolah dan prestasinya. Keluarganya hanya tahu jika Elio adalah remaja dengan otak standar, padahal tanpa mereka ketahui Elio adalah remaja yang cerdas. Berbagai macam perlombaan, mulai dari tingkat akademik maupun non-akademik sering ia ikuti. Nilai raportnya pun selalu di atas rata-rata, namun keluarganya tidak ada yang tahu karena mereka tidak pernah menghadiri pertemuan di sekolah Elio.

Elio menghembuskan napasnya, ia memilih untuk menundukkan kepalanya.

"Wahh hebat banget anak mama, tapi berani nggak nih pidato di depan umum?" tanya Liana.

Nio mengangguk, "Berani dong ma, Nio kan udah gede,"

Samuel terkekeh, "Bagus, anak papa harus berani dong," ucapnya seraya mengelus rambut putra angkatnya itu.

Sudut mata Elio menangkap pemandangan tersebut, 'Kapan papa akan elus rambut Lio lagi?' batinnya.

"Elio! coba kamu contoh kakak kamu, dia bahkan sering diminta sekolah buat pidato di depan umum, jangan cuma ngelukis aja, nggak ada gunanya," ucap Samuel yang tanpa sadar menyakiti hati putra bungsunya.

Elio mendongakkan kepalanya, netranya menatap sang papa, "Tapi Lio suka melukis pa, itu hobi Lio," bantahnya.

Samuel terlihat mengeraskan rahangnya, "Hobi kamu itu cuma buang-buang waktu tahu nggak! Ngelukis nggak bisa buat kamu jadi penerus papa," suara Samuel terdengar keras. Semua yang ada di sana hanya diam, Elio terlihat mengepalkan tangannya guna menahan emosi agar ia tidak keterlaluan terhadap papanya.

ELIO [ end ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang