Seseorang terlahir dengan takdir yang telah dituliskan Tuhan untuk mereka. Tidak ada yang bisa memilih di mana mereka dilahirkan dan bagaimana kehidupan mereka nantinya. Yang bisa dilakukan hanya berusaha melakukan yang terbaik untuk kehidupan, entah bagaimana pun nanti Tuhan menakdirkan.
"Andai bisa, aku lebih milih kehidupan kita yang biasa. Tanpa drama orang-orang kaya." Gumam Arsky masih dengan memandang langit hitam di atas sana.
Hanzel menoleh pada adik kembarnya sebentar sebelum ikut menatap jauh ke arah yang sama.
"Tapi kita nggak bisa. Sebanyak apapun aku mengharap hal yang sama." Balas Hanzel.
Dia ingin mengeluh tentang semua kejadian yang akhir-akhir menimpa keluarganya. Tapi pada siapa harus mengeluh? Pada papa yang sendirinya juga menahan keluh kesahnya? Atau pada mama yang rapuh dan malah butuh sandarannya? Atau pada abang yang mencoba tetap kuat demi keluarganya?
Jawabannya tidak ada. Dia telah beranjak dewasa dan harus berusaha melakukan apapun sendirian, termasuklah menahan perasaannya. Juga masih ada dua adik kembarnya yang juga menahan rasa yang sama.
Hanzel menoleh pada Arsky yang masih tetap fokus menatap entah apa. Tatapan itu kosong dan penuh kepasrahan. Dia tahu banyak yang ingin dilakukan si kembar termuda, namun tak ada yang bisa dilakukan selain diam menunggu dan berdoa.
"Andai aku dikasih kesempatan nanti, aku mau jadi penegak hukum aja. Aku mau bantu orang-orang selesaikan kasus-kasus kayak gini tanpa dipersulit." Ucap Arsky lirih.
Menunggu itu tidak enak. Apalagi menunggu sesuatu yang belum pasti hasilnya. Arsky hanya takut jika mereka terlalu lama menunggu, mereka akan menyesal nantinya. Menyesal karena tidak bisa melakukan apa-apa.
Hanzel lalu merangkul bahu Arsky dan membawanya untuk berpelukan. Tak lama isakan terdengar. Arsky yang selalu bersikap dewasa nyatanya hanya seorang remaja yang masih butuh sandaran. Hanzel menengadahkan wajahnya, takut air mata ikut membasahi pipinya.
"Kenapa...kenapa harus Sam? Kenapa...buat liat dia senyum aja...sesusah itu?" Ucap terhalang isakan yang tak mau berhenti.
Ya. Kenapa hanya untuk melihat Arsean tersenyum saja harus sesulit ini? Padahal saat kecil si bungsu adalah anak yang ceria. Tapi lingkungan dan kondisi membuatnya berubah. Sebanyak apapun mereka berusaha tetap tak bisa mengembalikan senyum tulus Arsean.
"Aku...aku nggak apa dijahili adek. Aku...nggak akan marah. Tapi...tapi..."
Dan Hanzel tak bisa lagi menahan air matanya. Hatinya mengucap janji yang sama. Se-nakal apapun Arsean nanti, dia berjanji tidak akan pernah memarahinya asal adik bungsunya kembali.
Malam itu keduanya hanya bisa saling memeluk untuk menguatkan. Karena kata-kata penguat tak lagi diperlukan.
Sementara Felix di dalam kamar rawat sang mama juga mengalami hal yang sama. Lelah dan khawatir bercampur aduk dalam perasaannya. Eliana mengalami dehidrasi ringan juga asam lambungnya kambuh hingga dokter memutuskan agar wanita itu dirawat hingga kondisinya membaik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Star
Fanfic"Dia adalah bintang yang terlempar di antara dua galaksi dunia yang berbeda." ▶️ Saya hanya meminjam tokoh, namun nama dan ide cerita adalah murni dari pemikiran saya. ▶️ Cerita berpusat pada Arsean (Hyunjin). ▶️ Saya membuat cerita karena hobi, buk...