21 - Plester Kompres Demam

27 3 0
                                    

Bahaya itu ketika cinta dibalut rasa benci, jebakannya nggak tanggung-tanggung.

---

Hujan kembali mengguyur Kota Jakarta. Nolan masuk ke rumah sambil memeluk diri dan sesekali menggosok lengannya. Dari rumah Kania, ia semakin sering bersin. Sejak tadi sore kepalanya memang terasa berat. Harusnya ia tidak memaksakan diri keluar, tapi saat tidak sengaja melihat kotak bekas wadah buah di antara serakan buku pelajrannya, ide untuk berkunjung terlintas begitu saja. Dan saat ini sel tubuh Nolan lagi patuh-patuhnya pada apa-apa yang berkaitan dengan Kania. Ia juga tidak paham sejak kapan mulai begini.

Sejak beberapa tahun terakhir, ruang keluarga adalah bagian yang paling Nolan benci di rumahnya. Papa dan istrinya keseringan menghabiskan waktu di sana, dan Nolan harus melalui ruangan itu untuk menuju kamarnya. Tangga menuju lantai dua ada di salah satu pojok ruangan itu.

"Kamu dari mana, Sayang?"

Dan ini yang paling tidak nyaman bagi Nolan, saat ditodong pertanyaan basa-basi yang monoton. Akan lebih baik jika mereka membiarkan Nolan berlalu begitu saja.

Nolan menoleh, tapi tidak menjawab.

"Bukannya lagi nggak enak badan?" Marni melanjutkan pertanyaannya, dengan tatapan yang masih mengandung harapan yang sama.

Ekspresi Nolan sangat datar. Ia hanya menghela napas panjang kemudian mulai menaiki tangga.

"Nolan, Papa nggak pernah ngajarin kamu kurang ajar begitu. Kalau orangtua nanya, dijawab!" Yasa yang tadinya sedang mencari-cari tayangan bagus, melempar asal remot ke atas meja.

Nabil yang sedang main lego di lantai, tersentak.

"Kenapa harus laporan setiap kali Nolan pulang, sementara Papa bisa ngelakuin apa aja sesukanya?" Nolan mencengkeram railing tangga kuat-kuat. Urat-urat tangannya sampai mencuat.

Yasa sontak berdiri, tapi Marni lekas meraih tangannya. "Sayang, kamu sebaiknya ke kamar, ya, istirahat," katanya sambil memberi isyarat agar Nolan lekas ke atas.

Nolan membuang napas kesal, kemudian bergegas ke atas.

Setibanya di kamar, Nolan merosotkan ranselnya hingga jatuh ke lantai begitu saja. Kemudian ia beranjak ke balkon.

"Aaakkkhhh ...!" Ia teriak sekencang-kencangnya, berharap udara malam yang masih diselimuti hujan lekas menyita kekesalannya.

"Berantem lagi sama Papa?" Suara itu menyela tiba-tiba, membuat Nolan agak tersentak.

🍁🍁🍁

Assalamualaikum.

Mohon maaf sebelumnya, bab ini hanya berupa cuplikan. Kalau kamu penasaran dengan kelanjutan kisah Nolan dan misteri di balik kacamata hitamnya, silakan baca selengkapnya di:

* KBM App
* KaryaKarsa

Di semua platform nama akunku sama (Ansar Siri). Ketik aja di kolom pencarian. Kalau akunku udah ketemu, silakan pilih cerita yang ingin kamu baca.

Cara gampangnya, langsung aja klik link yang aku sematkan di halaman depan Wattpad-ku ini.

Aku tunggu di sana, ya.

Makasih.

Salam santun 😊🙏

Mr. BlackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang