Kamu seumpama ketakutan yang malah ingin kudekap erat.
---
Melihat reaksi Nolan, Tante Hesti mengode Danu, bersiap untuk segala kemungkinan. Dan setelah dirasa cukup, akhirnya dia menarik kain itu, membebaskan Nolan yang tampak berjuang keras untuk bertahan. Dan dia berhasil, meski dengan tampang yang tidak keruan.
Nolan megap-megap, lalu berusaha menarik napas panjang hingga dadanya membusung penuh. Dia berkeringat dan terlihat agak pucat.
Danu sigap menyodorkan segelas air minum.
Nolan mengambil alih gelas itu dan langsung meneguk isinya hingga tandas. Setelahnya, napasnya terasa lebih lega. Dia mengembalikan gelasnya sambil berterima kasih.
Tante Hesti menjangkau beberapa lembar tisu di atas meja, lalu menyeka wajah Nolan. "Gimana?" tanyanya dengan nada seenteng mungkin. Meski reaksi tadi lumayan mengerikan, Tante Hesti tidak ingin menampilkan raut khawatir. Bagaimana pun, yang tadi itu kemajuan pesat. Semacam babak baru dalam upaya penyembuhan Nolan.
"Rasanya seperti dicekik, Tan." Nolan masih berusaha menormalkan pola napasnya, membiarkan kesibukan Tante Hesti yang kini menyeka lengannya.
"Tapi nggak sampai pingsan, kan. Artinya kamu itu sebenarnya kuat. Nggak ada yang perlu ditakutkan lagi." Tante Hesti mengembangkan senyum. Masih senyum yang sama, senyum yang menguatkan Nolan selama ini.
"Makasih, Tan." Nolan menatap Tante Hesti sangat tulus. Entah bagaimana jadinya jika Tuhan tidak menyertakan perempuan sebaik ini di hidupnya.
"Sepertinya Tante harus siap-siap kehilangan bocah nakal Tante, karena sekarang dia mulai tumbuh dewasa." Tante Hesti mengacak gemas rambut Nolan.
Nolan terkekeh.
"Jangan lupa bilang makasih juga sama Kania," kata Tante Hesti sambil beranjak ke pojok ruangan untuk membuang tisu bekasnya.
"Loh?" Nolan menegakkan punggung. Sekarang perasaannya jauh lebih baik. Sensasi ketegangan tadi suda reda.
Tante Hesti kembali mendekat. Dia ikut duduk di tepi tempat tidur. "Ketakutan-ketakutanmu selama ini perlahan-lahan menyingkir karena dadamu sedang dihuni perasaan baru."
Nolan mengernyit. "Maksudnya?"
"Coba deh, kapan-kapan luangkan waktu untuk meraba pearasaan itu. Siapa itu cinta? Dan kalau kamu berani menelaah lebih jauh, kamu akan menemukan nama Kania di dalamnya."
Nolan malah tertawa. "Tante ngaco, deh."
"Kamu pernah dengar bahwa cinta bisa mengalahkan segalanya?"
Nolan tertegun sejenak, lalu mengangguk lemah.
"Termasuk ketakutan-ketakutanmu itu."
"Tapi Nolan sama Kania—"
Tante Hesti memotong ucapan Nolan. "Tante nggak butuh gelar spesialis kejiwaan untuk tahu kamu mencintai gadis itu."
"Nggak, ah!" elak Nolan buru-buru sambil memalingkan wajah.
"Terserah, deh. Bukan urusan Tante juga untuk maksa kamu ngaku." Tante Hesti geleng-geleng sambil tersenyum geli. Keponakannya ini sudah kelas tiga SMA, tapi untuk urusan cinta tingkahnya kayak baru puber saja.
🍁🍁🍁
Assalamualaikum.
Mohon maaf sebelumnya, bab ini hanya berupa cuplikan. Kalau kamu penasaran dengan kelanjutan kisah Nolan dan misteri di balik kacamata hitamnya, silakan baca selengkapnya di:
* KBM App
* KaryaKarsaDi semua platform nama akunku sama (Ansar Siri). Ketik aja di kolom pencarian. Kalau akunku udah ketemu, silakan pilih cerita yang ingin kamu baca.
Cara gampangnya, langsung aja klik link yang aku sematkan di halaman depan Wattpad-ku ini.
Aku tunggu di sana, ya.
Makasih.
Salam santun 😊🙏
![](https://img.wattpad.com/cover/206257938-288-k437747.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Black
Teen FictionMeskipun gantengnya selangit, Kania tetap tidak menyukai Nolan. Baginya, cowok itu aneh karena selalu pakai kacamata hitam. Karena itu dia menjulukinya Mr. Black. Namun, sebuah insiden kecil malah mengharuskan Kania jadi asisten pribadi cowok itu. P...