Ketika telapak tangan Papa menghantam pipi Nolan, rasanya seperti ditendang dari keluarga itu.
---
Hesti tidak bisa tinggal diam. Setelah mendengar kabar kaburnya Nolan dari Liam, perempuan berusia 36 tahun itu langsung meminta tolong ke suaminya untuk diantar ke rumah Yasa. Setelah Marni membukakan pintu, dia langsung merangsek dan menemukan Yasa di ruang tamu.
"Saya, kan, sering peringatkan, jangan sekali-kali melukai hati Nolan." Hesti menjatuhkan diri di samping Yasa, sementara suaminya duduk di sofa seberang meja. "Dia itu masih sangat sensitif, butuh dukungan kita selaku keluarganya. Kenapa Mas malah lepas kontrol begini?" Napasnya memburu. Perempuan berdagu lancip itu sangat khawatir dengan kondisi keponakannya yang entah berada di mana sekarang.
Jeda menggantung beberapa jenak. Yasa menunduk, menautkan kesepuluh jemarinya, menumpukan siku di paha.
"Bukan kamu yang berada di posisi saya. Dia sudah keterlaluan."
Melihat ekspresi hancur itu, Hesti berusaha meredam emosinya. Sepanjang perjalanan tadi sebenarnya dia terus menebak apa yang sudah dilakukan Nolan. Karena selama ini dia cukup mengenal kakaknya. Seorang Yasa tidak pernah bertindak gegabah, apalagi sampai lepas kontrol. Apa pun yang dilakukan Nolan, sepertinya berhasil melukai hati Yasa sebagai seorang ayah.
"Sekarang lebih baik memikirkan bagaimana caranya menemukan Nolan." Suami Hesti, Rudi, mengambil alih.
Yasa mendesah pelan. Sebelah tangannya beralih memijat kening.
"Kita lapor polisi aja," usul Marni, dengan suara masih serak. Area di sekitar matanya belum kering.
"Jangan, Mbak. Kita harus menemukan Nolan sendiri, sebagai bentuk bahwa kita benar-benar peduli sekaligus bisa berusaha tanpa campur tangan orang lain." Hesti menatap orang-orang di sekitarnya. "Ini kelihatannya mungkin sepele, tapi kalau sampai melibatkan polisi segala, sudah pasti Nolan akan merasa keluarganya mulai lepas tangan atas dirinya. Itu akan membuat mentalnya semakin kerdil."
Tidak ada yang menanggapi, tapi mereka menampilkan raut setuju.
Dan tiba-tiba saja Marni kembali terisak. "Semua ini karena kehadiran saya." Dia mengusap matanya dengan punggung tangan. "Saya minta maaf." Di kalimat kedua suaranya lebih retak dari sebelumnya. Semacam rasa ingin menyerah bersemayam di sana.
Yasa langsung menghampiri, duduk di lengan sofa yang Marni duduki. Dia merangkul dan mengelus pelan pundaknya. "Ini sama sekali bukan salahmu. Kita tidak harus membahasnya berulang-ulang, kan?"
Marni malah semakin tergugu. Dia merebahkan kepala di paha sang suami.
Diam-diam Hesti sangat prihatin dengan kondisi Marni. Dia sudah sangat sabar menghadapi Nolan sejauh ini. Perannya selaku ibu tiri sebaik-baiknya ibu tiri yang pernah ada di muka bumi ini. Sayangnya, Nolan masih terlalu buta untuk semua itu.
🍁🍁🍁
Assalamualaikum.
Mohon maaf sebelumnya, bab ini hanya berupa cuplikan. Kalau kamu penasaran dengan kelanjutan kisah Nolan dan misteri di balik kacamata hitamnya, silakan baca selengkapnya di:
* KBM App
* KaryaKarsaDi semua platform nama akunku sama (Ansar Siri). Ketik aja di kolom pencarian. Kalau akunku udah ketemu, silakan pilih cerita yang ingin kamu baca.
Cara gampangnya, langsung aja klik link yang aku sematkan di halaman depan Wattpad-ku ini.
Aku tunggu di sana, ya.
Makasih.
Salam santun 😊🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Black
JugendliteraturMeskipun gantengnya selangit, Kania tetap tidak menyukai Nolan. Baginya, cowok itu aneh karena selalu pakai kacamata hitam. Karena itu dia menjulukinya Mr. Black. Namun, sebuah insiden kecil malah mengharuskan Kania jadi asisten pribadi cowok itu. P...